Minggu, 16 November 2014

KEKERASAN DI NEGARA PANCASILA - TANAH PAPUA



KEKERASAN DI NEGARA PANCASILA - TANAH PAPUA

       I.            PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara Pancasila. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tata tertib hukum di Indonesia dan secara yuridis pula pancasila sah menjadi Dasar Negara Republik Indonesia sehingga seluruh komponen kehidupan bernegara maupun bermasyarakat haruslah wajib didasari oleh Pancasila. Namun pada kenyataannya masih banyak terjadi kekerasan di negara Pancasila dan itu bukanlah hal baru. Kekerasan di negara Pancasila merupakan kekerasan yang sarat makna. Kekerasan di negara Pancasila terutama di tanah Papua merupakan sebagian kekerasan dari sekian banyak kekerasan yang ada. Di sini akan dipaparkan bagaimana kekerasan yang terjadi di tanah Papua dan bagaimana proses penyelesaiannya. Memang untuk mengupas masalah di Papua bukanlah hal yang mudah dan gampang. Karena itu, hanya sebagian masalah yang akan dibahas di sini. Masalah-masalah yang kiranya membuka mata kita untuk memandang ke Timur jauh Papua.

    II.            KEKERASAN DI NEGARA PANCASILA - TANAH PAPUA
1.      Pancasila Sebagai Dasar Negara
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menyatakan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tata tertib hukum di Indonesia. Dengan keputusan ini pula, secara yuridis pancasila sah menjadi Dasar Negara Republik Indonesia sehingga seluruh komponen kehidupan bernegara maupun bermasyarakat haruslah wajib didasari oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar Negara dapat memberi akibat hukum dan filosofis; yakni kehidupan bernegara bangsa ini haruslah berpedoman pada pancasila.

2.      Persatuan Sebagai Persatean
Persatean merupakan pembalikan dari Persatuan yang mana istilah ini dipakai untuk mengkritik persatuan yang merupakan nilai adiluhur bangsa indonesia yang telah diperjuangkan selama ini. Persatuan yang telah diperjuangkan itu telah pudar dalam diri bangsa Indonesia karena banyak diwarnai dengan tindakan kekerasan. Pancasila sebagai dasar negara hanya sebagai alat bagi pemerintah untuk menindas masyarakat. Persatuan dan kesatuan yang merupakan jalan menuju kemerdekaan sejati, malah dibalik sebagai jalan penindasan dan penghancuran terhadap harkat dan martabat masyarakat. Dewasa ini, arti  bhineka tunggal ika “berbeda-beda tetapi satu” malah diabaikan sehingga perbedaan yang menjadi satu telah dipecah-pecahkan dan akhirnya perbedaan itu nampak dalam setiap komponen sehingga menghilangkan rasa persatuan. Ernest Renan melalui tulisannya yang amat terkenal “What is Nation?”, mengatakan bahwa nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun pengorbanan.

ketika melihat berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di negeri ini, maka dimanakah pancasila sebagai dasar negara? Dimanakah makna bhineka tunggal ika? Semuanya telah diporak-porandakan sehingga muncul pertentangan di antara berbagai etnis, suku, budaya dan agama. Peristiwa ini membuat masyarakat semakin tidak bebas dalam melangsungkan hidupnya. Ketidakbebasan ini akhirnya disimpulkan sebagai suatu gejala “homo homini lupus” yang dikatakan oleh Thomas Hobbes. Berbagai tindak kekerasan yang terjadi negara Pancasila menunjukan bahwa bangsa ini sedang mempraktikan homo homini lupus bagi masyarakatnya.

3.      Konflik Di Tanah Papua
Inti dari setiap konflik adalah perbedaan kepentingan dan pendapat. Pihak yang satu ingin mencari keuntungan sendiri tanpa memperhintungkan pihak lain. Perbedaan pendapat dan kepentingan ini bisa menjadi sebuah gangguan yang luar biasa dasyat jika tidak ada suatu dasar  kebersamaan yang membantu mengatasi masalah tersebut.
Konflik di Tanah Papua sudah dimulai sejak Indoseia menguasai Papua pada tanggal 1 Mei 1963. Konflik yang terjadi di Tanah Papua hingga kini belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh, kendati telah diupayakan penyelesaiannya melalui berbagai cara. Cara penyelesaian konflik di Tanah Papua selalu berakhir dengan kekerasan. Fakta sejarah di Papua memperlihatkan secara jelas dan gamblang bahwa dalam rangka menyelesaiakan konflik Papua, pemerintah telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di Tanah Papua, seperti Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977),  Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), dan Operasi Sapu Bersih (1985). Jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah dalam menyelesaikan konflik Papua juga dinyatakan melalui operasi militer yang dilancarkan di Mapunduma (1996), dan peristiwa pelanggaran HAM di Wasior (2001). Kekerasan masih dipakai pula oleh militer sebagai jalan penyelesaian konflik seperti dinyatakan melalui operasi militer di Wamena (2003) dan di Kabupaten Puncak Jaya (2004). Upaya penyelesaian konflik dengan jalan kekerasan ini telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban di kedua belah pihak terutama di pihak Orang Papua khususnya mereka yang berada di daerah-daerah terisolir. Kebanyakan konflik di Tanah Papua hanya dilihat sejauh mata memandang. Namun dibalik apa yang terlihat tersimpan begitu banyak konflik yang seolah-olah terus ditutup-tutupi. Fakta menunjukkan bahwa penyelesaian konflik di Tanah Papua tidak bisa lagi diatasi melalui jalan kekerasan, karena kekerasan hanya menambah luka dan penderitaan bahkan korban di masyarakat Papua.

Setelah jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan konflik Papua tidak berhasil, maka pemerintah beralih ke Otonomi Khusus (Otsus). Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 12 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Profinsi Papua sebagai pengejawantahan dari ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999, dan Ketetapan MPR RI No. IV/2000. Hal ini dipandang sebagai sebuah komitmen nasional untuk dijadikan solusi yang realistis terhadap berbagai konflik yang melatarbelakangi tuntutan kemerdekaan orang Papua. Namun pemberlakuan Undang-Undang Otsus tersebut yang sudah berjalan 10 tahun tidak berhasil menyelesaikan konflik yang terjadi di tanah Papua. Otsus hanyalah sebuah dongeng yang dikisahkan pemerintah kepada rakyat Papua. Seluruh komponen masyarakat Papua menyadari bahwa pemberlakuan Otsus hanya menambah derita dan ketidak-percayaan kepada pemerintah. Bahkan setelah pemberlakuan Otsus pun masih terjadi kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) diberbagai daerah di Tanah Papua, seperti kasus Wasior (2003) yang menewaskan 4 orang dan di Wamena (2005) yang mengorbankan 9 orang. Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah telah gagal total dalam menangani konflik di Tanah Papua. Otsus yang dikumandangkan pemerintah telah gagal total dan tidak  memiliki arti lagi.

4.      Dialog – sebuah langkah awal menuju kedamaian
Tidak ada jalan lain untuk mengatasi konflik di Tanah Papua selain melalui dioalog. Dialog merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh bersama, antara pemerintah dan segenap rakyat Papua dalam mengatasi konflik tersebut. seperti yang telah ditegaskan diatas bahwa kekerasan tidak dapat lagi menyelesaikan masalah di tanah Papua, melainkan hanya menambah luka dan korban.  Sesungguhnya dialog sudah dicanangkan sejak lama namun tidak pernah direalisasikan karena ada kemungkinan bahwa pemerintah mencurigai akan adanya pembahasan tentang kemerdekaan dalam dialog tersebut. sedangkan menurut Neles Tebay, ‘’pemerintah Indonesia sebagai pemerintah dari suatu bangsa yang besar tidak mungkin mau berdialog dengan orang Papua. Dia meyakini bahwa pemerintah belum meninggalkan komitmennya untuk menyelesaikan konflik Papua secara menyeluruh dan komprehensif melalui suatu dialog damai. Keyakinannya juga didasari pada kenyataan bahwa pemerintah sudah mempunyai pengalaman dalam berdialog dengan pihak separatis dan atau menfasilitasi dialog dan perundingan bagi kelompok dan pemerintah di negara lain’’.

Jika pemerintah sudah mempunyai sikap curiga terhadap orang Papua, maka perlu diketahui bahwa orang Papua juga mempunyai sikap tidak percaya terhadap pemerintah Indonesia. Sikap ketidakpercayaan orang Papua terhadap pemerintah didasari pada janji-janji yang dilontarkan pemerintah kepada orang Papua dan jarang dipenuhi. Sikap ketidakpercayaan ini sudah tercover pada setiap komponen masyarakat Papua dengan mengatakan, “pemerintah baku tipu”. Hal ini menunjukan bahwa orang Papua memandang pemerintah sebagai pembual belaka yang sudah berkalai-kali membohongi mereka. Sikap ketidakpercayaan ini merupakan suatu kendala besar yang perlu diatasi bila ingin menuju ke sebuah dialog damai.

Kita semua telah mengetahui bahwa dialog telah dikumandangkan oleh kedua belah pihak sudah sejak lama. Dari pihak pemerintah sendiri telah membuat sebuah komitmen untuk menyelesaikan konflik Papua melalui dialog. Hal ini telah dinyatakan secara public oleh presiden Yudhoyono  bahwa konflik di Tanah Papua harus diselesaikan secara damai dengan mengutamakan dialog dan persuasi. Presiden Yudhoyono menegaskan pula dalam pidato kenegaraan pada tahun 2005 bahwa “The government wishes to solve the issue in Papua in a peaceful, just and dignified manner by emphasizing dialogue and persuasion. The policy for the settlement of the issue in Papua is placed on the consistent implementation of the special autonomy, as just, comprehensive and dignified solution”. Sejalan dengan komitmen pemerintah di bawah kepemimpinan Yudhoyono, Hassan Wirayuda selaku menteri Luar Negeri (Menlu) menegaskan bahwa pemerintah Indonesia mengutamakan solusi tanpa kekerasan dalam mengatasi konflik Papua: “The sucessfull peace process in Aceh should inspire a similiar move for a non-violent solution in Papua”. Pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh pemerintah indonesia telah memperlihatkan sebuah sikap terbuka dan mau untuk berdialog dengan orang Papua secara damai.

Sedangkan dari pihak Papua yang telah diungkapkan oleh OPM dan ditegaskan kembali oleh West Papua National Coalition for Leberation (WPNCL) bahwa “WPNCL will continue to seek internationally mediated negotiation with the Republic of Indonesia as the best way resolving the angoing armed conflict promoted by the Indonesian security forces and reversing the disastrous human rights and spiraling health situation of the West Papuan people”. Dengan demikian, diharapkan agar proses penyelesaian konflik di tanah Papua dengan cara dialog bisa berjalan dengan lancar dan damai karena sudah ada kemauan dari kedua belah pihak. Memang harus diakui bahwa konflik yang terjadi di Papua bukanlah konflik ringan dan sepeleh, melainkan sebuah konflik yang begitu besar dan berat sehingga diperlukan kesepakatan dari kedua belah pihak untuk menyelesaikannya secara intensif dan menyeluruh.

 III.            KESIMPULAN
Kekerasan yang terjadi di negara Pancasila merupakan suatu proses pembelajaran agar kita membuka mata untuk melihat dan menyelesaikannya secara damai baik melalui dialog maupun yang lainnya tanpa harus ada kekerasan. Negara yang bersumber pada Pancasila kiranya selalu berjalan searah dengan apa yang telah menjadi pedoman dasar seperti yang telah dikatakan oleh Ernest Renan melalui tulisannya yang amat terkenal “What is Nation?” yang mengatakan bahwa negara adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun pengorbanan. Jika hal ini sungguh dihayati oleh semua komponen, maka kekerasan yang selama ini terjadi baik di Tanah Papua maupun di mana saja akan teratasi.

 IV.            REFERENSI
Latif,  Yudhi. Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,        Jakarta: Gramedia, 2011.
Magnis-Suseno, Frans. Etika politik. Prinsi-prinsip Moral Dasar Kenegaraan          Modern, Jakarta: Gramedia, 1987.
SKP Jayapura, Tim, Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi, Dasar Menangani        Konflik di Papua, Tim SKP Jayapura, 2006.
Tebay, Neles, Dialog Jakarta-Papua – Sebuah Perspektif Papua, Jakarta: SKP       Jayapura, 2009.
Wahana, Paulus, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar