PERSATUAN
sebagai PERSATEAN
Negara
Indonesia merupakan negara Pancasila. Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum atau sumber dari tata tertib hukum di Indonesia dan secara yuridis
pula pancasila sah menjadi Dasar Negara Republik Indonesia sehingga seluruh
komponen kehidupan bernegara maupun bermasyarakat haruslah wajib didasari oleh
Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar Negara memberi akibat hukum dan filosofis; yakni kehidupan
bernegara bangsa ini haruslah berpedoman pada pancasila. Namun pada kenyataannya
masih banyak terjadi tindakkan tak bermoral di negara Pancasila
dan itu bukanlah hal baru. Tindakkan tak bermoral seperti pembunuhan, kekerasan,
korupsi, kolusi, nepotisme, dll, yang terjadi di negara Pancasila merupakan
tindakan yang sarat makna. Persatuan Indonesia yang sangat dijunjung tinggi
dari Sabang sampai Merauke kini disatekan.
Persatean
tersebut merupakan pembalikan dari
Persatuan yang mana istilah ini dipakai untuk mengkritik persatuan yang
merupakan nilai adiluhur bangsa indonesia yang telah diperjuangkan selama ini.
Persatuan yang telah diperjuangkan itu telah pudar dalam diri bangsa Indonesia
karena banyak diwarnai dengan tindakan tak bermoral. Pancasila sebagai dasar
negara hanya sebagai alat bagi pemerintah untuk mengusai masyrakyat. Persatuan
dan kesatuan yang merupakan jalan menuju kemerdekaan sejati, malah dibalik
sebagai jalan penindasan dan penghancuran terhadap harkat dan martabat
masyarakat. Dewasa ini, arti bhineka
tunggal ika “berbeda-beda tetapi satu”
malah diabaikan sehingga perbedaan yang menjadi satu itu telah dipecah-pecahkan
dan akhirnya berdampak pada setiap komponen yang menghilangkan rasa persatuan. Ernest Renan melalui tulisannya yang
amat terkenal “What is Nation?” mengatakan bahwa nation adalah jiwa dan prinsip
spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun
pengorbanan. Berbekal semangat itulah nasionalisme Indonesia lahir sebagai
sebuah ikatan bersama. Dalam konteks ini, nasionalisme menjadi amunisi dalam
menentang hegemoni kolonialisme. Selain apa yang dikatakan diatas, oleh Frans
Magnis Suseno pada buku “kerikil-kerikil di jalan reformasi” dikatakan juga bahwa
civil society kita bangsa indonesia
terbentuk dari himpunan anasir
paradoksal yang sewaktu-waktu bisa merapuhkan sendi-sendi kesatuan hidup sosial
bangsa dan negara, jika benih-benih kerapuhan dalam himpunan anasir sosial itu
tidak mendapat perhatian semestinya dari pemerintah pusat dan daerah; misalnya,
kemajemukan yang termasuk salah satu ciri hakiki civil society dapat mengandung
dampak positif dan negatif.
Kebangsaan
yang diwarnai dengan kemajemukan dan persatuan itu, akhirnya sangat disayangkan
keberadaannya karena ternyata tidak dihargai oleh berbagai
tindakan tak bermoral yang terjadi di negeri ini, maka dimanakah pancasila
sebagai dasar negara? Dimanakah makna bhineka tunggal ika? Semuanya telah
diporak-porandakan sehingga muncul pertentangan di antara berbagai etnis, suku,
budaya dan agama. Peristiwa ini membuat masyarakat semakin tidak bebas dalam
melangsungkan hidupnya. Ketidakbebasan ini akhirnya disimpulkan sebagai suatu
gejala “homo homini lupus” yang dikatakan oleh Thomas Hobbes. Berbagai tindak
tak bermoral yang terjadi negara Pancasila menunjukkan bahwa bangsa ini sedang
mempraktikan homo homini lupus bagi
masyarakatnya.
Referensi:
Latif, Yudhi. Negara
Paripurna. Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,
Jakarta: Gramedia, 2011.
Magnis-Suseno, Frans. Etika Politik. Prinsi-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern,
Jakarta: Gramedia, 1987.
___Kerikil-Kerikil
Di Jalan Reformasi, Jakarta:
Kompas, 2002.
Wahana, Paulus, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar