Senin, 17 November 2014

PERSATUAN sebagai PERSATEAN



PERSATUAN sebagai PERSATEAN

Negara Indonesia merupakan negara Pancasila. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tata tertib hukum di Indonesia dan secara yuridis pula pancasila sah menjadi Dasar Negara Republik Indonesia sehingga seluruh komponen kehidupan bernegara maupun bermasyarakat haruslah wajib didasari oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar Negara  memberi akibat hukum dan filosofis; yakni kehidupan bernegara bangsa ini haruslah berpedoman pada pancasila. Namun pada kenyataannya masih banyak terjadi tindakkan tak bermoral di negara Pancasila dan itu bukanlah hal baru. Tindakkan tak bermoral seperti pembunuhan, kekerasan, korupsi, kolusi, nepotisme, dll, yang terjadi di negara Pancasila merupakan tindakan yang sarat makna. Persatuan Indonesia yang sangat dijunjung tinggi dari Sabang sampai Merauke kini disatekan.
Persatean tersebut  merupakan pembalikan dari Persatuan yang mana istilah ini dipakai untuk mengkritik persatuan yang merupakan nilai adiluhur bangsa indonesia yang telah diperjuangkan selama ini. Persatuan yang telah diperjuangkan itu telah pudar dalam diri bangsa Indonesia karena banyak diwarnai dengan tindakan tak bermoral. Pancasila sebagai dasar negara hanya sebagai alat bagi pemerintah untuk mengusai masyrakyat. Persatuan dan kesatuan yang merupakan jalan menuju kemerdekaan sejati, malah dibalik sebagai jalan penindasan dan penghancuran terhadap harkat dan martabat masyarakat. Dewasa ini, arti  bhineka tunggal ika “berbeda-beda tetapi satu” malah diabaikan sehingga perbedaan yang menjadi satu itu telah dipecah-pecahkan dan akhirnya berdampak pada setiap komponen yang menghilangkan rasa persatuan. Ernest Renan melalui tulisannya yang amat terkenal “What is Nation?” mengatakan bahwa nation adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun pengorbanan. Berbekal semangat itulah nasionalisme Indonesia lahir sebagai sebuah ikatan bersama. Dalam konteks ini, nasionalisme menjadi amunisi dalam menentang hegemoni kolonialisme. Selain apa yang dikatakan diatas, oleh Frans Magnis Suseno pada buku “kerikil-kerikil di jalan reformasi” dikatakan juga bahwa civil society kita bangsa indonesia terbentuk dari  himpunan anasir paradoksal yang sewaktu-waktu bisa merapuhkan sendi-sendi kesatuan hidup sosial bangsa dan negara, jika benih-benih kerapuhan dalam himpunan anasir sosial itu tidak mendapat perhatian semestinya dari pemerintah pusat dan daerah; misalnya, kemajemukan yang termasuk salah satu ciri hakiki civil society dapat mengandung dampak positif dan negatif.
Kebangsaan yang diwarnai dengan kemajemukan dan persatuan itu, akhirnya sangat disayangkan keberadaannya karena ternyata tidak dihargai oleh  berbagai tindakan tak bermoral yang terjadi di negeri ini, maka dimanakah pancasila sebagai dasar negara? Dimanakah makna bhineka tunggal ika? Semuanya telah diporak-porandakan sehingga muncul pertentangan di antara berbagai etnis, suku, budaya dan agama. Peristiwa ini membuat masyarakat semakin tidak bebas dalam melangsungkan hidupnya. Ketidakbebasan ini akhirnya disimpulkan sebagai suatu gejala “homo homini lupus” yang dikatakan oleh Thomas Hobbes. Berbagai tindak tak bermoral yang terjadi negara Pancasila menunjukkan bahwa bangsa ini sedang mempraktikan homo homini lupus bagi masyarakatnya.

Referensi:
Latif,  Yudhi. Negara Paripurna. Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,
Jakarta: Gramedia, 2011.
Magnis-Suseno, Frans. Etika Politik. Prinsi-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan         Modern,
            Jakarta: Gramedia, 1987.
___Kerikil-Kerikil Di Jalan Reformasi, Jakarta: Kompas, 2002.
Wahana, Paulus, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar