SUKU
BANGSA KAMORO
I.
PENDAHULUAN
Suku Kamoro merupakan salah satu suku di Kabupaten
Mimika yang cukup terkenal dengan hasil kebudayaannya. Dalam hal seni ukir,
mereka tidak kalah terkenalnya dengan tetangga sukunya, yakni suku Asmat.
Warisan yang telah dilestarikan sejak zaman nenek moyang, kian memacu mereka
untuk berpegang teguh pada harta yang sarat nilai tersebut.
Suku Kamoro adalah kelompok adat yang mendiami sepanjang
300 Km pesisir selatan Papua, di kawasan ujung timur Indonesia. Jumlah penduduk Kamoro
sekitar 18.000 jiwa terbagi dalam kurang lebih 40 kampung. Sekitar 1.500
penduduk Kamoro tinggal di berbagai lokasi transmigrasi sekitar Kota Timika [Blog
Lembaga Pendidikan Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
Tak mengherankan, jika para wartawan juga tersedot
perhatiannya untuk meliput hal-hal yang terkait kekayaan kebudayaan mereka.
Selain hasil karya seni yang unik seperti patung-patung, para wartawan pun
memberitakan situasi kehidupan mereka[1].
Kebanyakan dari suku Kamoro tinggal di rumah kayu non-permanen. Kondisi ini
cukup menggambarkan, bahwa kehidupan mereka jauh dari sejahtera. Namun, saat
ini beberapa masyarakat suku Kamoro bermukim di rumah permanen pemberian dari
perusahaan tambang Internasional (PT Freeport Indonesia) yang beroperasi di
Timika. Walau terseret arus modernisasi, tetapi dalam keberlangsungan
kehidupannya, mereka masih menjalankan warisan tradisi seni ukir[2]. Hasil karya berupa seni ukir inilah, yang sekiranya memberi bukti
bahwa kebudayaan mereka memiliki keunikan, dan berbeda dengan suku-suku lain
yang tersebar di tanah Papua.
Terlatar belakangi oleh keunikan budaya suku Kamoro tersebut,
maka kami akan mengkaji secara lebih terperinci dalam bagian isi makalah kami
ini.
II.
BUDAYA SUKU KAMORO
Dalam bagian ini, kami akan membahas beberapa hal pokok
mengenai kebudayaan suku Kamoro. Sebelum mengenalnya lebih jauh, kami akan
memperkenalkan lokasi, lingkungan alam dan demografi dari Kabupaten Mimika,
tempat suku Kamoro berdomisili. Selanjutnya kami mengulas mengenai asal mula
dan sejarah suku Kamoro, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, sistem
teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial informal dan formal yang
berlaku, pandangan dunia yang berhubungan dengan alam semesta dan sesama,
sistem pengetahuan, sistem religi dan kesenian.
Terkait dengan situasi perkembangan dunia yang terjadi
di zaman modern ini, kami akan menyertakan juga hasil evaluasi kelompok,
mengenai beberapa hal pokok misalnya bahasa, sistem teknologi, organisasi,
sosial, mata pencaharian, pandangan dunia, kesenian dan agama
A.
Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi Suku Kamoro
Luas kabupaten Mimika 19.592 Km², atau 4,77% dari luas
wilayah Propinsi Papua. Kabupaten ini terletak antara 4.030º LS-4.044º LS dan
136.036º BT-136.048ºBT. Keadaan geografis Mimika sangat bervariasi, terdiri
dari dataran rendah yang berawa-rawa yang terletak di sebelah selatan dan pegunungan
di sebelah utara. Di wilayah dataran, struktur tanahnya berombak dengan
kemiringan 3-80, sedangkan daerah pegunungan bertingkat memiliki kemiringan
30-90. Di sekitar ibukota kabupaten Mimika curah hujan cukup tinggi yang
mencapai 5.339 mm/tahun, sehingga musim hujan mencapai waktu delapan bulan, sementara
sisanya musim kemarau [Dirgantara
Wicaksono, 2010, Kondisi Geografis
Mimika, Universitas Negeri Jakarta
http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].
Jumlah penduduk kabupaten Mimika pada sensus 1999 adalah
90.518 orang. Penduduk asli Mimika terdiri dari dua suku besar, yakni suku
Amungme dan suku Kamoro. Selain kedua suku tersebut, ada juga beberapa suku
pendatang, seperti suku Dani, suku Moni, suku Lani, suku Damal, suku Nduga,
suku Ekari, suku Ndelem, suku Kupel dan suku Ngamun. Masyarakat suku Kamoro
menempati wilayah bagian selatan, yang terdiri dari daerah dataran rendah.
Suku-suku lain (pendatang) yang hidup bersama dengan suku Kamoro adalah suku
Moni, suku Lani, suku Damal, suku Nduga dan suku Ekari [Dirgantara Wicaksono, 2010, Kondisi
Geografis Mimika, Universitas Negeri Jakarta
http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].
Suku Kamoro adalah kelompok adat yang mendiami wilayah
sepanjang 300 Km, pesisir pantai selatan Papua, di kawasan ujung timur
Indonesia. Jumlah penduduk suku Kamoro sekitar 18.000 jiwa, terbagi dalam ±40
kampung. Sekitar 1.500 penduduk Kamoro tinggal di berbagai lokasi transmigrasi
sekitar kota
Timika. Tanah Kamoro dimulai dari Teluk Etna di sebelah barat, dan menyatu ke arah
timur di kawasan Jita, sebuah kelompok etnis yang masih bersaudara, yang juga
berpartisipasi dalam acara tahunan festival Kamoro sering disebut “Kamoro Kakuru”. Tanah Jita berbatasan
dengan daerah Asmat. Ketiga kelompok etnis tersebut membentuk keluarga bahasa
Kamoro-Asmat, dan beberapa ciri kebudayaan seperti patung Mbitoro suku Kamoro dan Bisj suku
Asmat, keduanya merupakan ukiran-ukiran besar yang melambangkan para leluhur yang
baru saja meninggal dunia [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
Karena masyarakat suku Kamoro pada umumnya berada di
sekitar pinggir-pinggir pantai, maka untuk melangsungkan kehidupannya, mereka
bergantung penuh pada penghasilan dari pantai dan sekitarnya. Mereka lebih
banyak mengambil sumber daya alam secara langsung, daripada mengusahakan dan
mengolahnya terlebih dahulu.
B.
Asal Mula dan Sejarah Suku Kamoro
Setiap suku pasti memiliki asal-usulnya masing-masing.
Biasanya, cerita tentang asal usul mereka diturunkan secara turun-temurun.
Cerita dari generasi ke generasi berikutnya, akhirnya menjadi sebuah legenda
atau mitos. Jika setiap suku yang kita jumpai memiliki cerita tentang
asal-usulnya, demikian halnya masyarakat Kamoro juga memiliki cerita mitos asal-usul.
Nama Kamoro secara mitologis, berasal dari mitos Wua Nani (Kamoro). Dikisahkan bahwa
suatu hari, ditemukan sebutir telur yang kemudian menetas menjadi seekor Komodo.
Hewan ini melahap seluruh penduduk kampung, kecuali seorang ibu bernama Mbirokoteya, yang sedang mengandung.
Bayi yang lahir dari kandungan sang ibu tersebut diberi nama Mbirokoteyau. Setelah anak itu bertumbuh
besar, ia berhasil membunuh komodo tersebut. Penggalan daging komodo itu
kemudian dilemparkan ke empat penjuru. Daging pertama dilemparkan ke arah timur
sambil berteriak, “Umurumel”. Bagian
inilah yang kemudian menjadi orang Asmat dan Merauke. Daging kedua dilemparkan
ke arah barat sambil berteriak “Komorowe”
, artinya “Jadilah bagian ini sebagai orang Kamoro [Yoseph Ikikitaro, 2004,
Ritus Inisiasi Karapao Suku Komoro dan
Relevansinya Bagi Ritus Sakramen Inisiasi Kristen (Suatu Tinjauan
Antropologis-Teologis). Jayaputa; STFT Fajar Timur. (Skripsi), hal. 9].
C.
Bahasa
Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat
Melanesia terdiri dari dua macam, yaitu Austronesia dan Non-Austronesia. Bahasa
Non-Austronesia merupakan bahasa yang umumnya dipakai di daerah Papua.
Dari segi bahasa, suku Kamoro bersaudara dengan suku
Asmat, yang tinggal di sebelah timur dan terkenal karena kesenian mereka. Suku
Asmat dan suku Kamoro, sebelumnya dikenal sebagai orang Mimika-merupakan
perbatasan barat laut pantai selatan New Guinea, mereka menggunakan bahasa
daerah non-Austronesia sebagai bahasa budaya. Penduduk asli suku Kamoro
sendiri, memiliki satu bahasa bersama dan terbagi dalam banyak ciri kebudayaan [Jan Pouwer, Kamorania: A Brief Account of Recent Acquisitions. http://cps.ruhosting.nl/32/nb32a.html].
D.
Sistem Teknologi
Pada umunya, masyarakat suku Kamoro menggunakan sistem
teknologi yang sederhana. Peralatan-peralatan yang mereka miliki berasal dari
bambu, kayu-kayu keras, kulit kerang, tulang binatang serta batu pasir. Namun
anehnya, untuk membuat ukiran-ukiran, mereka telah menggunakan pahat yang
terbuat dari besi. Besi-besi tersebut didatangkan dari Ternate dan Tidore,
melalui jalur tukar-menukar barang. Meskipun jalur tukar-menukar barang ini
terus berjalan dalam kehidupan masyarakat suku Kamoro, tetapi tetaplah mereka
masih menggunakan teknologi yang amat sederhana. Peralatan-peralatan sederhana
lain yang menjadi andalan mereka ialah kapak, mata anak panah dan pisau. Untuk
membelah pohon bakau yang sudah lapuk, mereka menggunakan parang dan kapak[3].
Perahu yang mereka gunakan untuk mencari Karaka[4]
di sungai berbentuk lesung, sehingga disebut perahu lesung. Sungai tempat
mereka mencari Karaka adalah sungai
Wania yang dipenuhi dengan hutan bakau. Pencarian Karaka secara tradisional, sangat bergantung pada kondisi pasang
surutnya air sungai, yang bermuara ke laut Arafuru. Kondisi yang berair dan
berlumpur merupakan habitat alamiah bagi Karaka
[Dra. Ina C. Slamet, 1964, Kehidupan
Suku-Suku Irian Barat, Djakarta:
Bharatara, hal. 23].
E.
Sistem Mata Pencaharian
Masyarakat suku Kamoro mengenal tiga macam ekosistem, yaitu
sungai, laut dan daratan. Di saat-saat tertentu, masyarakat suku Kamoro
berpindah tempat tinggal, sesuai kebutuhan mereka. Membuka ladang baru adalah
salah satu pekerjaan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan bahan
makanan selain mencari ikan.Tanaman yang ditanam pada umumnya, adalah kelapa,
pisang, petatas dan jagung. Di waktu tertentu, masyarakat Kamoro, khususnya
Desa Pigapu, mencari tambelo atau ko
dalam bahasa Pigapu. Tambelo hidup
di pohon bakau yang telah rubuh [Kal Muler Benediktus Makanaipetu, 2005, In Between (Just an ordinary jurnal) Legenda
Mapurupuau Kamoro, http://herwan.wordpress.com/2005/06/07/legenda-mapurupuau-komoro/].
Sebagai sumber penghidupan, masyarakat suku Kamoro
mengandalkan hasil laut/sungai. Kaum laki-laki bertugas membuat perahu guna
mencari ikan. Kaum laki-laki suku Kamoro juga suka berburu. Jenis hewan (di
darat) yang mereka buru adalah babi hutan, kasuari dan kuskus serta beragam
jenis burung, yang baik untuk dikonsumsi telur dan dagingnya. Sedangkan jenis
yang diburu di bagian perairan selain ikan, ialah buaya air tawar, buaya laut
dan kadal bakau [Dirgantara Wicaksono,
2010, Kondisi Geografis Mimika, Universitas Negeri Jakarta http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].
Sementara kaum perempuan membuat sagu sebagai makanan
mereka sehari-hari[5].
Kaum perempuan suku Kamoro, sangat piawai untuk mengetahui jejak karaka yang mereka cari menggunakan
perahu lesung. Mereka tidak merasa takut digigit capit kepiting besar yang
mereka tangkap dan memasukannya dalam noken[6]
yang dibawah serta. Selain mencari karaka,
mereka (kaum perempuan) gemar mengudap ulat pohon bakau, yang disebut Tambelo[7]. Mereka akan mencari di pohon bakau
yang sudah tumbang dan lapuk.
F.
Sistem Organisasi Sosial
Salah satu wadah atau organisasi lokal (lembaga
informal) yang terbentuk dan menyatukan masyarakat suku Kamoro adalah Taparo. Istilah taparo adalah sebutan yang dikenakan kepada kumpulan atau himpunan
orang-orang dalam suku Kamoro, yang terdapat hubungan darah secara langsung. Orang-orang
yang berasal dari taparo lain, sulit
untuk mendengarkan atau mengikuti hasil keputusan dari taparo yang berbeda [Hasil wawancara dengan Fr Agustinus Alua di
Wisma Salib Suci, Sabtu 11 September 2010].
Menurut salah satu sumber, sistem organisasi sosial
masyarakat suku Kamoro terdiri atas empat macam[8],
yaitu:
Pranata Sosial lembaga yang ada di lokasi pemukiman Timika dan sangat dominan
adalah lembaga-lembaga formal; pemerintah, keamanan dan perusahaan. Pemimpin
masyarakat dari pranata sosial tersebut sangat dominan, serta berpengaruh dalam
menggerakkan masyarakat guna melakukan berbagai kegiatan, terutama di sekitar
lokasi pemukimannya. Pemimpin informal atau pemimpin adat sama sekali tidak
menunjukkan perannya, sebab perannya tidak banyak berarti dalam mengayomi
masyarakatnya, khususnya dalam menghadapi perubahan yang sama sekali asing baginya.
Kelembagaan ekonomi yang dominan adalah pasar.
Sistem
Kekerabatan; kekerabaan yang terjalin, mengikuti
hubungan darah dan hubungan perkawinan para migran etnik Irian hanya
menampakkan jalinan sosial, sedangkan perannya dalam mendukung perekonomian
sudah memudar sama sekali. Aktifitas gotong royong sebagai ciri masyarakat
pedesaan pun, tidak dapat dipertahankan lagi, karena pola hidup telah bergeser
dari kolektif ke individual. Hal tersebut sangat beralasan, karena untuk
memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sudah berat, bagaimana mungkin berpikir
untuk kepentingan keluarga besar (marganya).
Relasi dan Interaksi
Sosial yang
merupakan ciri khas masyarakat pedesaan pun berlangsung antara tetangga
terdekat, dan lebih berpusat pada keluarga inti. Aktifitas bersama dalam wujud
keluarga besar sudah mulai ditinggalkan. Berbagai aktifitas keluarga besar kurang
diperhatikan lagi, bila dibanding dengan tantangan yang dihadapi keluarga
sekarang, sebab dinilai sebagai suatu pemborosan. Dengan demikian tampak jelas
bahwa motif ekonomi uang mendasari seluruh aktifitas keluarga.
Perilaku Sosial
Menyimpang proses akulturasi antara dua budaya,
lokal dan asing, dan termasuk budaya kosmopolitan (lokasi hiburan; bar,
restoran, lokalisasi (WTS) Wanita Tuna Susila) menjerumuskan pemuda-pemuda
lokal menjadi: pemabuk dan pelacur. Lokalisasi WTS, praktek prostitusi yang
terorganisir maupun tidak terorganisir memporak-porandakan perkembangan moral
remaja setempat, menjerumuskan diri mereka tanpa menyadari konsekuensi yang
dihadapi.
G.
Pandangan Dunia (Terhadap Alam Semesta dan Sesama)
Masyarakat suku Kamoro memandang
tanah sebagai dusun tempat tanah tumpah darah, yang memiliki sumber daya alam
(tanah, laut, sungai, pantai) yang biasa digunakan dan cukup untuk kehidupan
mereka, sekaligus anak cucunya dalam klan mereka. Maka dari itu, pengelolaan
alam menjadi permasalahan penting bagi masyarakat suku Kamoro. Tanah merupakan simbol
kepemilikan, keterikatan dengan penghuninya, dan jika memutuskan kepemilikan
atas tanah, berarti dengan sendirinya memutuskan hubungan dengan para
leluhurnya [Dirgantara Wicaksono, 2010, Kondisi
Geografis Mimika, Universitas Negeri Jakarta
http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].
Masyarakat suku Kamoro sangat
menghargai satu sama lain, sebab mereka percaya pada asal usul nenek moyang.
Mereka merasa berasal dari sumber yang satu dan sama. Hubungan dengan orang
luar baik adanya, seperti pandangan mereka terhadap sesama dalam suku Kamoro.
Jika orang luar masuk dan mengambil sesuatu dari alam, mereka akan memandangnya
sebagai pencuri. [Hasil wawancara dengan Fr
Agustinus Alua di Wisma Salib Suci, Sabtu 11 September 2010]
H.
Sistem Pengetahuan
Bagi mereka, pekerjaan merupakan suatu kewajiban untuk
menyalurkan kreativitas. Jadi, mereka lebih melihat fungsi pekerjaan itu
sendiri tanpa memperhitungkan apa yang didapat dari pekerjaan yang mereka
lakukan. Falsafah hidup masyarakat suku Kamoro adalah bekerja tanpa menuntut
balasan. Mereka lebih menunjukkan sikap keuletan dalam melakukan suatu
pekerjaan, bukanlah semata-mata untuk diberikan balas jasa/imbalan. Kalau pun
diberikan, mereka tetap menerima, tetapi jika tidak diberikan mereka tidak akan
menuntut. Sehingga balasan atas pekerjaan tidak dilihat sebagai suatu kewajiban
tetapi sebagai konsekuensi dari pekerjaan itu sendiri.
Pengetahuan lain yang sangat unik dari masyarakat suku
Kamoro, tampak jelas melalui ukiran-ukiran yang menarik perhatian. Kemampuan
mengukir patung, bukan merupakan manifestasi dari suatu pendidikan formal,
namun berdasarkan pengalaman penghayatan mereka baik terhadap alam, orang-orang
yang sudah meninggal dan terutama dengan yang adikodrati.
I.
Sistem Religi (Agama)
Masyarakat suku Kamoro mempunyai mitos-mitos yang
dipercaya adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Mitos-mitos itu
diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk lisan, sejak dari nenek moyang
mereka. Salah satu mitos yang terkenal di suku Kamoro, yaitu Uwao Nani (komodo). Selain itu, orang
Kamoro meyakini bahwa alam sekitar pun memiliki kekuatan gaib. Benda yang
diyakini mempunyai kekuatan gaib, seperti patung Mbitoro yang terbuat dari kayu. Mbitoro
adalah arwah yang diberi wujud dalam bentuk patung. Mbitoro berukirkan gambar tokoh-tokoh masyarakat leluhur yang telah
meninggal dunia.
Salah satu upacara adat sesuai sumber “Proses
Pelaksanaan Ritus Inisiasi Karapao”.
Istilah karapao adalah nama sebuah
ritus inisiasi bagi suku Kamoro. Kata karapao
menunjukkan pada nama keempat rumah dalam mitos Uwao Nani (komodo). Ada beberapa jenis karapao yang dihidupi, yaitu pesta inisiasi (Tauri Karapao), pesta pelubangan hidung (Mirimo Karapao), pesta perahu (Kaware
Karapao), pesta babi (Oo Karapao)
dan pesta sagu (Ameta Karapao).
Secara umum ritus inisiasi karapao mempunyai
tiga tahapan dasar, yaitu:
1.
Tapena (Pemisahan)
Pada tahap ini merupakan tahap pertama. Para inisian yang sebelumnya tidak berstatus, kemudian
dikukuhkan melalui tapena sebagai
seorang anak dalam masyarakat setempat (Airu).
Tapena sendiri mempunyai tiga
tahapan, yaitu tahap pendataan calon tapena;
tahap penancapan tongkat komando; tahap pengumuman masal tentang calon
inisiasi; tahap pelaksanaan tapena, dan
tahap akhir/penutup tapena yang
ditandai dengan acara menabur tifa dalam rumah (Baurake).
2.
Tauroko (Masa tibanya pemakaian cawat)
Melalui tahapan ini, seseorang mengalami pergeseran
identitas diri, yakni identitas sebagai anak (Airu) kepada remaja (Butapoka).
Kata tauroko terdiri dari dua suku
kata, yaitu “taur”, artinya cawat
yang terbuat dari bahan janur pohon sagu untuk menutupi alat kemaluan dan “Oko”, artinya asli. Jadi, tauroko adalah pengenaan tauri (cawat) kepada para anggota
inisian yang mulai beranjak pada masa remaja.
3.
Karapao (Pembangunan rumah adat)
Karapao adalah tahap akhir. Di sini identitas seseorang bergeser lagi dari
identitasnya seabgai remaja (butapoka)
kepada kedewasaan (koapoka).
Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Kamoro,
memiliki makna atau nilai tertentu. Melalui ritus inisiasi karapao dalam kehidupan orang Kamoro, dipandang sebagai cara
pengelompokan sosial tradisional, setiap individu mulai mengenal identitas
dirinya, yakni masuk ke dalam generasi dan sebagai anggota masyarakat setempat.
Melalui ritus inisiasi karapao setiap
anak laki-laki diantar masuk ke dalam kelompok sosial dan didewasakan dalam
sejumlah bidang kehidupan, yakni religi, sosial ekonomi, seksualitas kesehatan
dan politik, sekaligus sebagai pengenangan dengan menghadirkan kembali para
leluhur dan tokoh-tokoh mistis yang pernah hidup pada masa lampau [Yoseph
Ikikitaro, 2004, Ritus Inisiasi Karapao
Suku Komoro dan Relevansinya Bagi Ritus Sakramen Inisiasi Kristen (Suatu
Tinjauan Antropologis-Teologis). Jayaputa; STFT Fajar Timur. (Skripsi), hal
17-19].
J.
Kesenian
Masyarakat suku Kamoro, memiliki beberapa jenis kesenian, yaitu:
a)
Seni ukir/Pahat-memahat
Konon, dari tradisi seni ukir ini, mereka dapat mengenal
perjalanan hidup nenek moyang Suku Kamoro, hingga akhirnya berada di Pesisir
Selatan Kota Timika. Dari kisah tersebut, mereka juga dapat mengetahui asal
kata Kamoro yang memiliki arti manusia yang hidup. Cerita kehidupan di pesisir
pantai pun terus bergulir hingga sekarang.
Desa Miyoko, di wilayah Kamoro, dikenal dengan
ukiran-ukiran kayunya. Kaum laki-laki sebagian besar menjadi pengukir.
Berbagai bentuk ukiran, lahir dari tangan-tangan terampil para pengukir.
Demikian pula, tema dan karakter ukiran. Tema ukiran yang sering menjadi
inspirasi para pengukir adalah binatang. Buaya, ular, burung dan ikan
adalah jenis binatang yang sering dijelmakan dalam patung maupun ukiran [Herwan,
07/06/2005, Kal
Muler Benediktus Makanaipetu, In Between, Just an ordinary
jurnal: Legenda Mapurupuau Kamoro;
Seni ukir yang dihasilkan oleh masyarakat suku Kamoro
terdapat dua macam, yakni tiang totem
dan mbitoro. Tiang
totem sebagaimana halnya sebuah pahatan yang melambangkan satu atau dua
orang tua berkuasa, yang baru meninggal dunia dan yang patut diperingati/dihormati
oleh seluruh warga desa. Hanya beberapa jenis pohon tertentu yang boleh
dipergunakan untuk pahatan tersebut, termasuk Myristica fetua dan Horsfeida
irja. Mbitoro merupakan sebuah
pahatan besar, yang memainkan peranan penting dalam tiap upacara adat penduduk
Kamoro. Patung tersebut melambangkan seorang tua yang baru saja meninggal dunia,
yang dibutuhkan bantuan dan perlindungannya. Jenis pohon yang digunakan untuk
membuat patung mbitoro sama dengan
pohon yang digunakan untuk membuat tiang
totem. [International Institute Research
Culture Society Aand Natural Protection (IRCSNP), Sabtu, 12 Juli 2008, Analisa
Budaya Papua "Suku Kamoro" http://juanfranklinsagrim.blogspot.com/2008/07/analisa-budaya-papua-suku-kamoro.html].
b) Seni tari
Tari- tari sambutan telah manjadi tradisi di hampir
semua suku di tanah papua. Tari-tarian di tanah papua mempunyai gerakan yang
khas, repetitif dan sederhana, tetapi atraktif. Salah satu bentuk sambutan
khas adalah menerima makanan khas desa setempat. Makanan khas tersebut adalah
ulat sagu yang dibakar. Dengan memakan ulat sagu yang ditawarkan warga, dapat
dimaknai bahwa kehadiran kita diterima. Makanan khas tersebut secara tidak
langsung menjadi media pengikat persahabatan dan persaudaraan antara tamu dan
masyarakat lokal.
Menjelang ritus tari ular masyarakat Pigapu mulai
mempersiapkan diri. Yohanes Mapareyau, kepala suku masyarakat Pigapu berangkat
ke Mapurujaya (tempat sejarah atau tempat hilangnya Mapurupuau[9])
Di sinilah, Yohanes datang menghadap leluhurnya. Ia meminta izin dan memohon
keselamatan kepada leluhur agar Tari Ular yang digelar tiga hari lagi
berlangsung lancar tanpa aral melintang.). Tari ular yang sakral adalah representasi
sejarah terjadinya desa Pigapu dan desa lain sepanjang sungai Wania. Legenda Mapurupuau
yang sangat diyakini masyarakat Pigapu berlatar sejarah ketika keberadaan
sihir, roh dan ikatan anismisme yang masih tinggi. Di hutan yang tidak jauh
dari desa Pigapu, beberapa orang dipimpin oleh Pak Liborius[10]
mencari kayu untuk membuat patung ular. Setelah memilih kayu, Pak Liborius
meminta ijin kepada penunggu pohon. Komunikasi ini wajib dilakukan, agar proses
pembuatan patung berjalan lancar dan tidak berpengaruh buruk pada warga. Dalam
ritual ini, Pak Liborius meletakkan sesaji berupa tembakau yang dibungkus dengan
daun sirih. Dalam ritus tari ular, hanya Pak Liborius yang boleh membuat kepala
patung ular.
Sejak proses pencarian kayu hingga pembuatan kepala ular,
hanya keturunan Mapurupuau saja yang diperkenankan melakukannya. Beberapa orang
lainnya hanya membantunya. Di bangunan yang disebut rumah besar, pembuatan
patung ular mulai dikerjakan. Pak Liborius terfokus pada pembuatan kepala
patung ular. Beberapa orang yang lain membuat badan ular. Pembuatan kepala
patung ular hanya bisa dilakukan di tempat tertutup. Tidak bisa dikerjakan dihadapan
orang lain, kecuali keluarga kandung Pak Liborius. Anak-anak pak Liborius pun,
diajak untuk ikut dalam pembuatan kepala patung ular itu, sebab mereka adalah
generasi penerus pembuatan patung kepala ular selanjutnya. Menurut keyakinan
masyarakat Kamoro, pembuatan akhir sebagai momen yang sangat sakral. Mata dianggap
sebagai sumber kehidupan. Ketika mata telah dipasang ke patung kepala ular, maka
ular tersebut telah mempunyai roh. Patung ular yang telah mempunyai roh, bisa
melihat orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena itu, mata patung ular
ditutup selama tari ular belum dilakukan. Sesaat menjelang ritus tari ular
dilaksanakan, barulah mata patung ular dibuka. Masyarakat Pigapu tidak berani
melanggar keyakinan tarian tersebut, karena mereka percaya bahwa akan
mendatangkan sakit bagi pembuat patung dan keluarganya.
Menjelang sore, masyarakat Pigapu mempersiapkan diri untuk
memulai ritus tari ular. Dandanan khas suku Kamoro mulai dikenakan. Hiasan
kepala dari bulu Cendrawasih dan Kasuari serta daun kelapa. Rok dibuat dari
pucuk rumbia dan hiasan dari pucuk daun pohon sagu. Ritus tari ular
dimulai. Masyarakat menari diiringi bunyi pukulan tifa. Pak Liborius keluar
bersama beberapa orang dengan membawa patung ular. Tarian ular melambangkan
keberadaan ular sebagai bagian utama dari sejarah Mapurupuau. Beberapa perempuan menangis karena larut dalam
sakralnya tarian ini. Gambaran kehidupan tete atau leluhur mereka dahulu,
tergambar dan menjelma dalam tarian ular ini. Tarian ular diakhiri dengan
memasukkan patung ular kembali ke dalam rumah besar. Mata patung ular kembali
ditutup untuk kemudian dikubur agar tidak mendatangkan bencana [Herwan,
07/06/2005, Kal
Muler Benediktus Makanaipetu, In Between, Just an ordinary
jurnal: Legenda Mapurupuau Kamoro;
b)
Seni suara
Pada tahap akhir tapena
(acara pembukaan pemisahan status lama kepada status sosial kelompok yang
baru), biasanya ditandai dengan acara tifa duduk (Bake Iri), sambil menari dan menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa
daerah [Yeremias Tsenawatme, 2002, Tradisi
Budaya Menganyam Noken Suku Amungme-Kamoro, Waena; SMU YPPK Teruna Bakti, (Karya
Tulis) hal. 5].
K.
Situasi Terkini Suku Kamoro (Evaluasi Kelompok Terhadap Adaptasinya
Dalam Dunia Modern)
Dalam hubungan dengan kemajuan dunia modern, kelompok
satu akan memberikan evaluasi dalam beberapa poin dari suku Kamoro. Alasan yang
cukup mendasarinya adalah semakin majunya segala aspek di dunia ini, maka
konsekuensinya segala segi terkait dengan kehidupan keseharian mereka pun
memberikan signal keterbukaan untuk mengikutinya. Kami akan membahasnya lebih lanjut di bawah ini:
1. Bahasa
Ditinjau dari segi bahasa, masyarakat suku Kamoro telah
mengalami kemajuan terkait dengan kemajuan teknologi yang terus merembesi
seluruh pelosok termasuk Papua. Berkat masuknya misi Katolik dan kemajuan di
bidang pendidikan, yang ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah telah membantu
mereka untuk bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Kehadiran PT Freeport Indonesia sebagai satu perusahaan
asing juga, memacu mereka untuk mempelajari bahasa asing, yang sangat membantu
mereka untuk berkomunikasi dengan budaya yang lebih luas. Hal ini sangat
dituntut bagi orang-orang suku Kamoro, yang menjadi karyawan perusahaan Freeport Indonesia.
2. Sistem Teknologi
Kontak pertama antara penduduk Kamoro dan dunia luar
kemungkinan terjadi dengan para pedagang dari Indonesia bagian barat yang
mencari kulit kayu massoy (banyak digunakan untuk obat tradisional Jawa), bulu
burung cenderawasih, getah damar untuk bahan penerangan dan mencari budak.
Sebagai alat tukar, digunakan perkakas logam, gong dan kain-kain [Blog Lembaga
Pendidikan Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
Kemajuan teknologi yang dialami oleh suku Kamoro, dapat
terlihat dalam hal pemakaian alat ukir, seperti pahat besi dan gergaji. Dalam
tukar menukar, sebelumnya masyarakat suku Kamoro perkakas, gong dan kain,
tetapi kini mereka sudah bisa menggunakan uang. Dahulu, para penari perempuan
menari tanpa mengenakan bra, kini mereka sudah bisa memakainya [Radar Timika,
Minggu, 11 Maret 2007, Perempuan
Suku Kamoro. http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=DwtTBA8HUlQC].
3. Organisasi Sosial
Menurut hasil evaluasi kelompok I, kami berpendapat
bahwa kepemimpinan dalam taparo
sebagai orang berpengaruh dalam satu kelompok masyarakat, perlahan-lahan mulai
ditinggalkan. Hal ini disebabkan oleh proses interaksi sosial dengan masyarakat
migran. Meski tidak sepenuhnya hilang, namun sistem keterbukaan mereka telah
membuka peluang bagi hilangnya sistem kepemimpinan mereka.
Dengan adanya tatanan atau lembaga sosial yang
berpusatkan pada pemerintahan dan keamanan, yang memang dikendalikan secara
penuh oleh pemerintah merupakan salah satu contoh konkritnya. Masuknya
perusahaan juga membawa pengaruh yang sangat besar dalam tatanan sosial mereka
terutama sistem kepemimpinan yang dikendalikan sepenuhnya oleh Pimpinan
perusahaan. [Hasil wawancara langsung dengan Fr Agustinus Alua di Wisma Salib
Suci, Sabtu 11 September 2010].
Proses interaksi sosial mereka dengan dunia luar telah
membawa dampak positif mau pun negatif baik dari segi ekonomi, pengetahuan, dan
kebudayaan. Interaksi mereka tidak hanya terbatas pada keluarga-keluarga inti
atau pun keluarga dekat karena ikatan marga, namun mereka telah berinteraksi
dengan masyarakat yang beda budaya yang jauh lebih kompleks termasuk dengan
budaya asing.
4. Mata Pencaharian
Dengan masuknya arus perkembangan dunia modern,
masyarakat suku Kamoro mengalami satu pergeseran yang cukup memprihatinkan,
khususnya berkaitan dengan mata pencaharian mereka. Sebelumnya, laut dan sungai
menjadi sumber kekayaan yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka, namun kini semuanya telah tiada. Kehadiran proyek raksasa, PT Freeport Indonesia
menyebabkan mereka kehilangan mata pencaharian. Di sungai-sungai, tempat mereka
mendapatkan ikan telah dicemari dengan limbah dari industri tersebut. Ikan-ikan
yang biasanya mereka tangkap, mati terkena racun limbah. Lahan-lahan perkebunan
yang mereka olah, diambil alih oleh pihak perusahaan.
Setelah masuknya PT Freeport mereka harus berpindah ke
kota Timika. Berhadapan dengan situasi yang baru tersebut, mereka dituntut
untuk menyesuaikan diri. Sebab, situasi hidup di kota lebih menuntut pengetahuan dan keahlian
yang memadai. Meskipun, pihak perusahaan turut memperhatikan nasib mereka,
karena kehilangan mata pencaharian, tetapi sebenarnya itu tidak cukup.
5. Pandangan Dunia
Pandangan dunia terhadap suku Kamoro, kami bahas terkait
kehadiran PT Freeprot Indonesia di Timika. Di satu pihak, perusahaan ini
memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat suku Kamoro. Misalnya, salah
satu dari kegiatan seperti Kamoro Kakuru atau Festival Kamoro yang telah
delapan kali diselenggarakan, melalui kerjasama antara PTFI, LPMAK, Lemasko,
Pemda, dan beberapa perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Mimika. Kali
pertama, festival yang melibatkan ratusan pengukir Kamoro di hampir seluruh
desa yang ada di Kabupaten Mimika ini, digelar pada tahun 1998 di kampung
Hiripau. Tujuan dari penyelenggaraan festival ini adalah, untuk mengenalkan
adat dan budaya suku Kamoro melalui penjualan kerajinan, lelang ukiran,
pertunjukan tarian, dan demo makanan tradisional. Sedangkan bagi pengukir
Kamoro, Festival Kamoro merupakan sarana bagi mereka untuk bertemu dan bertukar
pikiran tentang adat budayanya; dan menjadi kesempatan untuk menjual ukiran
dengan harga lebih tinggi.
Selain menyelenggarakan Kamoro Kakuru, berbagai kegiatan pameran juga digelar di beberapa
kota, diantaranya adalah Kuala Kencana, Jakarta, Surabaya, dan Bali. Sebagian
besar adalah atas undangan dari pihak penyelenggara, seperti keberangkatan
kelompok kecil ke Belanda atas undangan pihak Rijk Museum.
Perlu diketahui bahwa di museum ini, terdapat ukiran-ukiran Kamoro berumur
lebih dari 50 tahun yang disimpan dan dipamerkan. [Radar Timika, Jumat, 29 Agustus 2008 11:59
WIB, Budaya Timika,
Di lain pihak mereka terasa terancam, sebab mereka harus
berhadapan dengan situasi perkembangan dunia yang lebih kompleks. Mereka menganggap PT Freeport Indonesia, telah merusak alam
sumber utama kehidupan mereka. Sikap ini tidak berarti suku Kamoro tidak
memiliki tuntutan, dan sepanjang tuntutan itu belum terealisasi optimal,
beberapa orang anggota suku tentu saja akan selalu menjadi bagian pemrotes
mengenai hal ihwal PT Freeport Indonesia [Dirgantara Wicaksono, 2010, Kondisi
Geografis Mimika, Universitas Negeri Jakarta
http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].
6. Agama
Perubahan besar-besaran pada suku Kamoro terjadi pada
tahun 1925 ketika sebuah pos pemerintah kolonial Belanda dan misi Katolik Roma
didirikan di Kokonau. Maka segera terjadilah pengendalian kekuasaan dan
penduduk Kamoro dipaksa/dibujuk untuk meninggalkan beberapa aspek kehidupan
adat mereka misalnya upacara tindik
hidung (tidak higienis), lalu mereka tinggal dalam rumah-rumah permanen di mana
terdapat sekolah-sekolah dan rumah-rumah untuk satu kepala keluarga (lebih
mudah dikendalikan), serta pemindahan kepercayaan dari animisme hingga memeluk
agama Katolik Roma [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
Dalam sumber lain, dikatakan bahwa perjanjian Pastor Le
Cocq d’Armanvil SJ untuk mendirikan misi di Mimika, baru digenapi 21 tahun
kemudian, ketika Mgr. J. Aerts bersama Pastor Kowatzky, Guru Benedictus Renjaan
dan Christianus Retob, tiba di Kokonao pada 9 Mei 1927 [Suara Gaiyabi, Media
Internal Petugas Pastoral Keuskupan Timika, 80
Tahun Gereja Katolik di Mimika, Th. IV, No. 03-03, Juli-Agustus 2007, hal.
12].
Dengan masuknya misi Katolik dan pewartaan para
Misionaris, maka masyarakat suku Kamoro mulai mengenal agama Katolik. Mereka
secara perlahan-lahan, mendapat pemahaman baru tentang Sang Khalik, yang
sebelumnya dikenal lewat alam sekitar.
7. Kesenian
Dalam hal kesenian, masyarakat suku Kamoro cukup
terkenal dengan hasil ukiran mereka. Hasil karya mereka itu, menarik perhatian
orang banyak, baik yang ada dalam negeri maupun manca negara. Pihak
pemerintahan Propinsi Irian Jaya (Papua), turut memberikan dukungan yang
berarti, atas keunikan kesenian suku Kamoro tersebut. Sehingga dalam salah satu
sumber dikatakan bahwa, pemerintah bertekad untuk mempertahankan budaya asli
suku Kamoro, mengingat keunikan yang dimiliki, sekaligus aset yang berarti
untuk memperkaya budaya bangsa Indonesia [Kompas, Sabtu, 1 Oktober 2005,
Kebudayaan; Pemerintah Pertahankan
Keunikan Suku Kamoro (Sambutan Gubernur Salossa, saat pembukaan Festival
Budaya Suku Kamoro di Tigopo, Kabupaten Mimika].
Sebagaimana halnya di Afrika, Oceania, dan suku Dayak,
warga Kamoro pun mampu menghasilkan patung-patung yang sangat mengagumkan,
walau alat yang mereka gunakan amat sederhana. Jenis kesenian suku Kamoro,
memberi ilham atau inspirasi yang berarti kepada banyak pelukis modern,
terutama para penganut aliran Kubus dan Pablo Picasso dengan lukisannya Les Demoiselles D'Avignon, yang menampilkan
wujud-wujud wanita dengan dua wajah seperti topeng-topeng Afrika [Blog Lembaga
Pendidikan Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
Benda seni suku Kamoro yang terkenal sampai tingkat
Internasional, memberikan semangat kepada para pengukir dan masyakarat untuk
terus mengembangkannya. Menurut salah satu sumber dikatakan bahwa patung Mbitoro, hasil ukiran dari suku Kamoro,
kini terpajang di Restoran Hotel Sheraton, Timika. Ukiran Kamoro juga telah
satu abad terpajang di Museum Leiden,
Belanda [Radar Timika, Minggu, 11 Maret 2007, Timotius Samin, Kegelisahan Pematung Kamoro http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=DwtTBA8HUlQC].
III.
KESIMPULAN
Setiap budaya tentu mengalami suatu proses yang terus
menerus, entah untuk melestarikan kebudayaan aslinya, maupun berusaha untuk
mencoba berinteraksi secara integral dengan pengaruh budaya luar. Masyarakat
suku Kamoro merupakan masyarakat yang terbuka untuk proses asimilasi. Dilihat
dari segi ekonomis, uang telah menjadi penentu utama dan sebagai ganti
ketergantungan mereka terhadap alam. Masuknya perusahaan yang turut dialami
oleh masyarakat suku Kamoro, mendukung proses peralihan pekerjaan dari peramu
menjadi karyawan, yang sangat menuntut keahlian yang khusus dan lebih
mengandalkan sistem pengetahuan yang profesional. Bahasa asli perlahan mulai
ditinggalkan, meski masih dipakai tapi hanya bagi orang-orang tua, dan
menggantinya dengan bahasa Indonesia, bahkan karena suatu tuntutan, mereka
harus belajar memakai bahasa asing, demi memperlancar hubungan komunikasi
mereka dengan dunia luar yang lebih kompleks
Meski dunia luar melihat bahwa telah terjadi perubahan
yang besar di dalam kebudayaan masyarakat suku Kamoro, tetapi mereka masih
tetap mempertahankan tradisi kebudayaan asli, selain karena faktor buta aksara,
buta bahasa asing, dan karena kurangnya pendidikan yang didapat sejak dahulu,
tetapi juga karena ada masyarakat yang cenderung mengisolasi diri dari
lingkungan sosial yang baru.
KEPUSTAKAAN
Ikikitaro, Yoseph. 2004. Ritus
Inisiasi Karapao Suku Komoro dan Relevansinya Bagi Ritus Sakramen Inisiasi
Kristen (Suatu Tinjauan Antropologis-Teologis). Jayaputa; STFT Fajar Timur
(Skripsi).
Kompas. Sabtu, 1 Oktober 2005. Kebudayaan; Pemerintah Pertahankan Keunikan Suku Kamoro (Sambutan Gubernur
Salossa, saat pembukaan Festival Budaya Suku Kamoro di Tigopo, Kabupaten
Mimika.
Sedik, Andreas. 1996. Kehidupan
Keluarga Amungme dan Kamoro di Kawasan Industri Pertambangan Freeport Irian Jaya (Studi Kasus Tentang
Dampak Industri Pertambangan Terhadap Perubahan Sosial Dalam Keluarga). Bogor; Program
Pascasarjana Intitut Pertanian (Thesis).
Slamet, Dra. Ina C. 1964. Kehidupan
Suku-Suku Irian Barat. Djakarta:
Bharatara.
Suara Gaiyabi, Media Internal Petugas Pastoral Keuskupan Timika, 80 Tahun Gereja Katolik di Mimika. Th.
IV, No. 03-03, Juli-Agustus 2007.
Tsenawatme, Yeremias. 2002. Tradisi
Budaya Menganyam Noken Suku Amungme-Kamoro.
Waena; SMU YPPK Teruna Bakti (Karya Tulis).
Blog Lembaga Pendidikan
Papua (LPP). Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1.
Herwan. 07/06/2005, http://herwan.wordpress.com/2005/06/07/legenda-mapurupuau-komoro/.
International
Institute Research Culture Society Aand Natural Protection (IRCSNP). Sabtu,
12 Juli 2008. Analisa
Budaya Papua "Suku Kamoro".
Makanaipetu,
Kal Muler Benediktus. 2005. In Between (Just an ordinary jurnal) Legenda
Mapurupuau Kamoro.
Pouwer, Jan. Kamorania: A Brief Account of Recent Acquisitions. http://cps.ruhosting.nl/32/nb32a.html.
Pramundito dan
Sukmadianto. Liputan6.com. 11/11/2006 15:36, Kesederhanaan Suku Kamoro.
Radar Timika. Minggu, 11 Maret 2007. Timotius Samin, Kegelisahan Pematung Kamoro. http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=DwtTBA8HUlQC.
Wicaksono, Dirgantara. 2010, Kondisi Geografis Mimika. Universitas
Negeri Jakarta http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html.
Hasil wawancara langsung dengan Fr Agustinus Alua di Wisma Salib
Suci, Sabtu 11 September 2010.
[1]Pramundito
dan Sukmadianto, Liputan6.com, 11/11/2006 15:36, Kesederhanaan Suku Kamoro, http://berita.liputan6.com/progsus/200611/132360/class=%27vidico%27.
[5]Dirgantara Wicaksono, 2010, Kondisi Geografis Mimika, Universitas
Negeri Jakarta
http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar