Minggu, 16 November 2014

SUKU BANGSA KAMORO - PAPUA

SUKU BANGSA KAMORO

I.                   PENDAHULUAN
Suku Kamoro merupakan salah satu suku di Kabupaten Mimika yang cukup terkenal dengan hasil kebudayaannya. Dalam hal seni ukir, mereka tidak kalah terkenalnya dengan tetangga sukunya, yakni suku Asmat. Warisan yang telah dilestarikan sejak zaman nenek moyang, kian memacu mereka untuk berpegang teguh pada harta yang sarat nilai tersebut.
Suku Kamoro adalah kelompok adat yang mendiami sepanjang 300 Km pesisir selatan Papua, di kawasan ujung timur Indonesia. Jumlah penduduk Kamoro sekitar 18.000 jiwa  terbagi dalam kurang lebih 40 kampung. Sekitar 1.500 penduduk Kamoro tinggal di berbagai lokasi transmigrasi sekitar Kota Timika [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
Tak mengherankan, jika para wartawan juga tersedot perhatiannya untuk meliput hal-hal yang terkait kekayaan kebudayaan mereka. Selain hasil karya seni yang unik seperti patung-patung, para wartawan pun memberitakan situasi kehidupan mereka[1]. Kebanyakan dari suku Kamoro tinggal di rumah kayu non-permanen. Kondisi ini cukup menggambarkan, bahwa kehidupan mereka jauh dari sejahtera. Namun, saat ini beberapa masyarakat suku Kamoro bermukim di rumah permanen pemberian dari perusahaan tambang Internasional (PT Freeport Indonesia) yang beroperasi di Timika. Walau terseret arus modernisasi, tetapi dalam keberlangsungan kehidupannya, mereka masih menjalankan warisan tradisi seni ukir[2]. Hasil karya berupa seni ukir inilah, yang sekiranya memberi bukti bahwa kebudayaan mereka memiliki keunikan, dan berbeda dengan suku-suku lain yang tersebar di tanah Papua.  
Terlatar belakangi oleh keunikan budaya suku Kamoro tersebut, maka kami akan mengkaji secara lebih terperinci dalam bagian isi makalah kami ini.

II.                   BUDAYA SUKU KAMORO
Dalam bagian ini, kami akan membahas beberapa hal pokok mengenai kebudayaan suku Kamoro. Sebelum mengenalnya lebih jauh, kami akan memperkenalkan lokasi, lingkungan alam dan demografi dari Kabupaten Mimika, tempat suku Kamoro berdomisili. Selanjutnya kami mengulas mengenai asal mula dan sejarah suku Kamoro, bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial informal dan formal yang berlaku, pandangan dunia yang berhubungan dengan alam semesta dan sesama, sistem pengetahuan, sistem religi dan kesenian.
Terkait dengan situasi perkembangan dunia yang terjadi di zaman modern ini, kami akan menyertakan juga hasil evaluasi kelompok, mengenai beberapa hal pokok misalnya bahasa, sistem teknologi, organisasi, sosial, mata pencaharian, pandangan dunia, kesenian dan agama

A.       Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi Suku Kamoro
Luas kabupaten Mimika 19.592 Km², atau 4,77% dari luas wilayah Propinsi Papua. Kabupaten ini terletak antara 4.030º LS-4.044º LS dan 136.036º BT-136.048ºBT. Keadaan geografis Mimika sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah yang berawa-rawa yang terletak di sebelah selatan dan pegunungan di sebelah utara. Di wilayah dataran, struktur tanahnya berombak dengan kemiringan 3-80, sedangkan daerah pegunungan bertingkat memiliki kemiringan 30-90. Di sekitar ibukota kabupaten Mimika curah hujan cukup tinggi yang mencapai 5.339 mm/tahun, sehingga musim hujan mencapai waktu delapan bulan, sementara sisanya musim kemarau [Dirgantara Wicaksono, 2010, Kondisi Geografis Mimika,  Universitas Negeri Jakarta http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].
Jumlah penduduk kabupaten Mimika pada sensus 1999 adalah 90.518 orang. Penduduk asli Mimika terdiri dari dua suku besar, yakni suku Amungme dan suku Kamoro. Selain kedua suku tersebut, ada juga beberapa suku pendatang, seperti suku Dani, suku Moni, suku Lani, suku Damal, suku Nduga, suku Ekari, suku Ndelem, suku Kupel dan suku Ngamun. Masyarakat suku Kamoro menempati wilayah bagian selatan, yang terdiri dari daerah dataran rendah. Suku-suku lain (pendatang) yang hidup bersama dengan suku Kamoro adalah suku Moni, suku Lani, suku Damal, suku Nduga dan suku Ekari [Dirgantara Wicaksono, 2010, Kondisi Geografis Mimika, Universitas Negeri Jakarta http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].
Suku Kamoro adalah kelompok adat yang mendiami wilayah sepanjang 300 Km, pesisir pantai selatan Papua, di kawasan ujung timur Indonesia. Jumlah penduduk suku Kamoro sekitar 18.000 jiwa, terbagi dalam ±40 kampung. Sekitar 1.500 penduduk Kamoro tinggal di berbagai lokasi transmigrasi sekitar kota Timika. Tanah Kamoro dimulai dari Teluk Etna di sebelah barat, dan menyatu ke arah timur di kawasan Jita, sebuah kelompok etnis yang masih bersaudara, yang juga berpartisipasi dalam acara tahunan festival Kamoro sering disebut “Kamoro Kakuru”. Tanah Jita berbatasan dengan daerah Asmat. Ketiga kelompok etnis tersebut membentuk keluarga bahasa Kamoro-Asmat, dan beberapa ciri kebudayaan seperti patung Mbitoro suku Kamoro dan Bisj suku Asmat, keduanya merupakan ukiran-ukiran besar yang melambangkan para leluhur yang baru saja meninggal dunia [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
Karena masyarakat suku Kamoro pada umumnya berada di sekitar pinggir-pinggir pantai, maka untuk melangsungkan kehidupannya, mereka bergantung penuh pada penghasilan dari pantai dan sekitarnya. Mereka lebih banyak mengambil sumber daya alam secara langsung, daripada mengusahakan dan mengolahnya terlebih dahulu.

B.       Asal Mula dan Sejarah Suku Kamoro
Setiap suku pasti memiliki asal-usulnya masing-masing. Biasanya, cerita tentang asal usul mereka diturunkan secara turun-temurun. Cerita dari generasi ke generasi berikutnya, akhirnya menjadi sebuah legenda atau mitos. Jika setiap suku yang kita jumpai memiliki cerita tentang asal-usulnya, demikian halnya masyarakat Kamoro juga memiliki cerita mitos asal-usul.
Nama Kamoro secara mitologis, berasal dari mitos Wua Nani (Kamoro). Dikisahkan bahwa suatu hari, ditemukan sebutir telur yang kemudian menetas menjadi seekor Komodo. Hewan ini melahap seluruh penduduk kampung, kecuali seorang ibu bernama Mbirokoteya, yang sedang mengandung. Bayi yang lahir dari kandungan sang ibu tersebut diberi nama Mbirokoteyau. Setelah anak itu bertumbuh besar, ia berhasil membunuh komodo tersebut. Penggalan daging komodo itu kemudian dilemparkan ke empat penjuru. Daging pertama dilemparkan ke arah timur sambil berteriak, “Umurumel”. Bagian inilah yang kemudian menjadi orang Asmat dan Merauke. Daging kedua dilemparkan ke arah barat sambil berteriak “Komorowe” , artinya “Jadilah bagian ini sebagai orang Kamoro [Yoseph Ikikitaro, 2004, Ritus Inisiasi Karapao Suku Komoro dan Relevansinya Bagi Ritus Sakramen Inisiasi Kristen (Suatu Tinjauan Antropologis-Teologis). Jayaputa; STFT Fajar Timur. (Skripsi), hal. 9].

C.       Bahasa
Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat Melanesia terdiri dari dua macam, yaitu Austronesia dan Non-Austronesia. Bahasa Non-Austronesia merupakan bahasa yang umumnya dipakai di daerah Papua.
Dari segi bahasa, suku Kamoro bersaudara dengan suku Asmat, yang tinggal di sebelah timur dan terkenal karena kesenian mereka. Suku Asmat dan suku Kamoro, sebelumnya dikenal sebagai orang Mimika-merupakan perbatasan barat laut pantai selatan New Guinea, mereka menggunakan bahasa daerah non-Austronesia sebagai bahasa budaya. Penduduk asli suku Kamoro sendiri, memiliki satu bahasa bersama dan terbagi dalam banyak ciri kebudayaan [Jan Pouwer, Kamorania: A Brief Account of Recent Acquisitions. http://cps.ruhosting.nl/32/nb32a.html].

D.       Sistem Teknologi
Pada umunya, masyarakat suku Kamoro menggunakan sistem teknologi yang sederhana. Peralatan-peralatan yang mereka miliki berasal dari bambu, kayu-kayu keras, kulit kerang, tulang binatang serta batu pasir. Namun anehnya, untuk membuat ukiran-ukiran, mereka telah menggunakan pahat yang terbuat dari besi. Besi-besi tersebut didatangkan dari Ternate dan Tidore, melalui jalur tukar-menukar barang. Meskipun jalur tukar-menukar barang ini terus berjalan dalam kehidupan masyarakat suku Kamoro, tetapi tetaplah mereka masih menggunakan teknologi yang amat sederhana. Peralatan-peralatan sederhana lain yang menjadi andalan mereka ialah kapak, mata anak panah dan pisau. Untuk membelah pohon bakau yang sudah lapuk, mereka menggunakan parang dan kapak[3]. Perahu yang mereka gunakan untuk mencari Karaka[4] di sungai berbentuk lesung, sehingga disebut perahu lesung. Sungai tempat mereka mencari ­Karaka adalah sungai Wania yang dipenuhi dengan hutan bakau. Pencarian Karaka secara tradisional, sangat bergantung pada kondisi pasang surutnya air sungai, yang bermuara ke laut Arafuru. Kondisi yang berair dan berlumpur merupakan habitat alamiah bagi Karaka [Dra. Ina C. Slamet, 1964, Kehidupan Suku-Suku Irian Barat, Djakarta: Bharatara, hal. 23].

E.       Sistem Mata Pencaharian
Masyarakat suku Kamoro mengenal tiga macam ekosistem, yaitu sungai, laut  dan daratan. Di saat-saat tertentu, masyarakat suku Kamoro berpindah tempat tinggal, sesuai kebutuhan mereka. Membuka ladang baru adalah salah satu pekerjaan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan selain mencari ikan.Tanaman yang ditanam pada umumnya, adalah kelapa, pisang, petatas dan jagung. Di waktu tertentu, masyarakat Kamoro, khususnya Desa Pigapu, mencari tambelo atau ko dalam bahasa Pigapu.  Tambelo hidup di pohon bakau yang telah rubuh [Kal Muler  Benediktus Makanaipetu, 2005, In Between (Just an ordinary jurnal) Legenda Mapurupuau Kamoro, Klik di sini untuk membatalkan balahttp://herwan.wordpress.com/2005/06/07/legenda-mapurupuau-komoro/].
Sebagai sumber penghidupan, masyarakat suku Kamoro mengandalkan hasil laut/sungai. Kaum laki-laki bertugas membuat perahu guna mencari ikan. Kaum laki-laki suku Kamoro juga suka berburu. Jenis hewan (di darat) yang mereka buru adalah babi hutan, kasuari dan kuskus serta beragam jenis burung, yang baik untuk dikonsumsi telur dan dagingnya. Sedangkan jenis yang diburu di bagian perairan selain ikan, ialah buaya air tawar, buaya laut dan kadal bakau [Dirgantara Wicaksono, 2010, Kondisi Geografis Mimika,  Universitas Negeri Jakarta http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].
Sementara kaum perempuan membuat sagu sebagai makanan mereka sehari-hari[5]. Kaum perempuan suku Kamoro, sangat piawai untuk mengetahui jejak karaka yang mereka cari menggunakan perahu lesung. Mereka tidak merasa takut digigit capit kepiting besar yang mereka tangkap dan memasukannya dalam noken[6] yang dibawah serta. Selain mencari karaka, mereka (kaum perempuan) gemar mengudap ulat pohon bakau, yang disebut Tambelo[7]. Mereka akan mencari di pohon bakau yang sudah tumbang dan lapuk. 

F.        Sistem Organisasi Sosial
Salah satu wadah atau organisasi lokal (lembaga informal) yang terbentuk dan menyatukan masyarakat suku Kamoro adalah Taparo. Istilah taparo adalah sebutan yang dikenakan kepada kumpulan atau himpunan orang-orang dalam suku Kamoro, yang terdapat hubungan darah secara langsung. Orang-orang yang berasal dari taparo lain, sulit untuk mendengarkan atau mengikuti hasil keputusan dari taparo yang berbeda [Hasil wawancara dengan Fr Agustinus Alua di Wisma Salib Suci, Sabtu 11 September 2010].
Menurut salah satu sumber, sistem organisasi sosial masyarakat suku Kamoro terdiri atas empat macam[8], yaitu:
Pranata Sosial lembaga yang ada di lokasi pemukiman Timika dan sangat dominan adalah lembaga-lembaga formal; pemerintah, keamanan dan perusahaan. Pemimpin masyarakat dari pranata sosial tersebut sangat dominan, serta berpengaruh dalam menggerakkan masyarakat guna melakukan berbagai kegiatan, terutama di sekitar lokasi pemukimannya. Pemimpin informal atau pemimpin adat sama sekali tidak menunjukkan perannya, sebab perannya tidak banyak berarti dalam mengayomi masyarakatnya, khususnya dalam menghadapi perubahan yang sama sekali asing baginya. Kelembagaan ekonomi yang dominan adalah pasar.
Sistem Kekerabatan; kekerabaan yang terjalin, mengikuti hubungan darah dan hubungan perkawinan para migran etnik Irian hanya menampakkan jalinan sosial, sedangkan perannya dalam mendukung perekonomian sudah memudar sama sekali. Aktifitas gotong royong sebagai ciri masyarakat pedesaan pun, tidak dapat dipertahankan lagi, karena pola hidup telah bergeser dari kolektif ke individual. Hal tersebut sangat beralasan, karena untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sudah berat, bagaimana mungkin berpikir untuk kepentingan keluarga besar (marganya).
Relasi dan Interaksi Sosial  yang merupakan ciri khas masyarakat pedesaan pun berlangsung antara tetangga terdekat, dan lebih berpusat pada keluarga inti. Aktifitas bersama dalam wujud keluarga besar sudah mulai ditinggalkan. Berbagai aktifitas keluarga besar kurang diperhatikan lagi, bila dibanding dengan tantangan yang dihadapi keluarga sekarang, sebab dinilai sebagai suatu pemborosan. Dengan demikian tampak jelas bahwa motif ekonomi uang mendasari seluruh aktifitas keluarga.
Perilaku Sosial Menyimpang proses akulturasi antara dua budaya, lokal dan asing, dan termasuk budaya kosmopolitan (lokasi hiburan; bar, restoran, lokalisasi (WTS) Wanita Tuna Susila) menjerumuskan pemuda-pemuda lokal menjadi: pemabuk dan pelacur. Lokalisasi WTS, praktek prostitusi yang terorganisir maupun tidak terorganisir memporak-porandakan perkembangan moral remaja setempat, menjerumuskan diri mereka tanpa menyadari konsekuensi yang dihadapi.  

G.      Pandangan Dunia (Terhadap Alam Semesta dan Sesama)
Masyarakat suku Kamoro memandang tanah sebagai dusun tempat tanah tumpah darah, yang memiliki sumber daya alam (tanah, laut, sungai, pantai) yang biasa digunakan dan cukup untuk kehidupan mereka, sekaligus anak cucunya dalam klan mereka. Maka dari itu, pengelolaan alam menjadi permasalahan penting bagi masyarakat suku Kamoro. Tanah merupakan simbol kepemilikan, keterikatan dengan penghuninya, dan jika memutuskan kepemilikan atas tanah, berarti dengan sendirinya memutuskan hubungan dengan para leluhurnya [Dirgantara Wicaksono, 2010, Kondisi Geografis Mimika, Universitas Negeri Jakarta http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].
Masyarakat suku Kamoro sangat menghargai satu sama lain, sebab mereka percaya pada asal usul nenek moyang. Mereka merasa berasal dari sumber yang satu dan sama. Hubungan dengan orang luar baik adanya, seperti pandangan mereka terhadap sesama dalam suku Kamoro. Jika orang luar masuk dan mengambil sesuatu dari alam, mereka akan memandangnya sebagai pencuri. [Hasil wawancara dengan Fr Agustinus Alua di Wisma Salib Suci, Sabtu 11 September 2010]

H.       Sistem Pengetahuan
Bagi mereka, pekerjaan merupakan suatu kewajiban untuk menyalurkan kreativitas. Jadi, mereka lebih melihat fungsi pekerjaan itu sendiri tanpa memperhitungkan apa yang didapat dari pekerjaan yang mereka lakukan. Falsafah hidup masyarakat suku Kamoro adalah bekerja tanpa menuntut balasan. Mereka lebih menunjukkan sikap keuletan dalam melakukan suatu pekerjaan, bukanlah semata-mata untuk diberikan balas jasa/imbalan. Kalau pun diberikan, mereka tetap menerima, tetapi jika tidak diberikan mereka tidak akan menuntut. Sehingga balasan atas pekerjaan tidak dilihat sebagai suatu kewajiban tetapi sebagai konsekuensi dari pekerjaan itu sendiri.
Pengetahuan lain yang sangat unik dari masyarakat suku Kamoro, tampak jelas melalui ukiran-ukiran yang menarik perhatian. Kemampuan mengukir patung, bukan merupakan manifestasi dari suatu pendidikan formal, namun berdasarkan pengalaman penghayatan mereka baik terhadap alam, orang-orang yang sudah meninggal dan terutama dengan yang adikodrati.

I.          Sistem Religi (Agama)
Masyarakat suku Kamoro mempunyai mitos-mitos yang dipercaya adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Mitos-mitos itu diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk lisan, sejak dari nenek moyang mereka. Salah satu mitos yang terkenal di suku Kamoro, yaitu Uwao Nani (komodo). Selain itu, orang Kamoro meyakini bahwa alam sekitar pun memiliki kekuatan gaib. Benda yang diyakini mempunyai kekuatan gaib, seperti patung Mbitoro yang terbuat dari kayu. Mbitoro adalah arwah yang diberi wujud dalam bentuk patung. Mbitoro berukirkan gambar tokoh-tokoh masyarakat leluhur yang telah meninggal dunia.
Salah satu upacara adat sesuai sumber “Proses Pelaksanaan Ritus Inisiasi Karapao”. Istilah karapao adalah nama sebuah ritus inisiasi bagi suku Kamoro. Kata karapao menunjukkan pada nama keempat rumah dalam mitos Uwao Nani (komodo). Ada beberapa jenis karapao yang dihidupi, yaitu pesta inisiasi (Tauri Karapao), pesta pelubangan hidung (Mirimo Karapao), pesta perahu (Kaware Karapao), pesta babi (Oo Karapao) dan pesta sagu (Ameta Karapao). Secara umum ritus inisiasi karapao mempunyai tiga tahapan dasar, yaitu:
1.    Tapena (Pemisahan)
Pada tahap ini merupakan tahap pertama. Para inisian yang sebelumnya tidak berstatus, kemudian dikukuhkan melalui tapena sebagai seorang anak dalam masyarakat setempat (Airu). Tapena sendiri mempunyai tiga tahapan, yaitu tahap pendataan calon tapena; tahap penancapan tongkat komando; tahap pengumuman masal tentang calon inisiasi; tahap pelaksanaan tapena, dan tahap akhir/penutup tapena yang ditandai dengan acara menabur tifa dalam rumah (Baurake).
2.    Tauroko (Masa tibanya pemakaian cawat)
Melalui tahapan ini, seseorang mengalami pergeseran identitas diri, yakni identitas sebagai anak (Airu) kepada remaja (Butapoka). Kata tauroko terdiri dari dua suku kata, yaitu “taur”, artinya cawat yang terbuat dari bahan janur pohon sagu untuk menutupi alat kemaluan dan “Oko”, artinya asli. Jadi, tauroko adalah pengenaan tauri (cawat) kepada para anggota inisian yang mulai beranjak pada masa remaja.
3.    Karapao (Pembangunan rumah adat)
Karapao adalah tahap akhir. Di sini identitas seseorang bergeser lagi dari identitasnya seabgai remaja (butapoka) kepada kedewasaan (koapoka).
Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Kamoro, memiliki makna atau nilai tertentu. Melalui ritus inisiasi karapao dalam kehidupan orang Kamoro, dipandang sebagai cara pengelompokan sosial tradisional, setiap individu mulai mengenal identitas dirinya, yakni masuk ke dalam generasi dan sebagai anggota masyarakat setempat. Melalui ritus inisiasi karapao setiap anak laki-laki diantar masuk ke dalam kelompok sosial dan didewasakan dalam sejumlah bidang kehidupan, yakni religi, sosial ekonomi, seksualitas kesehatan dan politik, sekaligus sebagai pengenangan dengan menghadirkan kembali para leluhur dan tokoh-tokoh mistis yang pernah hidup pada masa lampau [Yoseph Ikikitaro, 2004, Ritus Inisiasi Karapao Suku Komoro dan Relevansinya Bagi Ritus Sakramen Inisiasi Kristen (Suatu Tinjauan Antropologis-Teologis). Jayaputa; STFT Fajar Timur. (Skripsi), hal 17-19].

J.         Kesenian
Masyarakat suku Kamoro, memiliki beberapa jenis kesenian, yaitu:
a)    Seni ukir/Pahat-memahat
Konon, dari tradisi seni ukir ini, mereka dapat mengenal perjalanan hidup nenek moyang Suku Kamoro, hingga akhirnya berada di Pesisir Selatan Kota Timika. Dari kisah tersebut, mereka juga dapat mengetahui asal kata Kamoro yang memiliki arti manusia yang hidup. Cerita kehidupan di pesisir pantai pun terus bergulir hingga sekarang.
Desa Miyoko, di wilayah Kamoro, dikenal dengan ukiran-ukiran kayunya. Kaum laki-laki sebagian besar menjadi pengukir. Berbagai bentuk ukiran, lahir dari tangan-tangan terampil para pengukir. Demikian pula, tema dan karakter ukiran. Tema ukiran yang sering menjadi inspirasi para pengukir adalah binatang. Buaya, ular, burung dan ikan adalah jenis binatang yang sering dijelmakan dalam patung maupun ukiran [Herwan, 07/06/2005, Kal Muler  Benediktus Makanaipetu, In Between, Just an ordinary jurnal: Legenda  Mapurupuau  Kamoro;
Seni ukir yang dihasilkan oleh masyarakat suku Kamoro terdapat dua macam, yakni tiang totem dan mbitoro.  Tiang totem sebagaimana halnya sebuah pahatan yang melambangkan satu atau dua orang tua berkuasa, yang baru meninggal dunia dan yang patut diperingati/dihormati oleh seluruh warga desa. Hanya beberapa jenis pohon tertentu yang boleh dipergunakan untuk pahatan tersebut, termasuk Myristica fetua dan Horsfeida irja. Mbitoro merupakan sebuah pahatan besar, yang memainkan peranan penting dalam tiap upacara adat penduduk Kamoro. Patung tersebut melambangkan seorang tua yang baru saja meninggal dunia, yang dibutuhkan bantuan dan perlindungannya. Jenis pohon yang digunakan untuk membuat patung mbitoro sama dengan pohon yang digunakan untuk membuat tiang totem. [International Institute Research Culture Society Aand Natural Protection (IRCSNP), Sabtu, 12 Juli 2008, Analisa Budaya Papua "Suku Kamoro" http://juanfranklinsagrim.blogspot.com/2008/07/analisa-budaya-papua-suku-kamoro.html].

b) Seni tari
Tari- tari sambutan telah manjadi tradisi di hampir semua suku di tanah papua. Tari-tarian di tanah papua mempunyai gerakan yang khas, repetitif dan sederhana, tetapi atraktif. Salah satu bentuk sambutan khas adalah menerima makanan khas desa setempat. Makanan khas tersebut adalah ulat sagu yang dibakar. Dengan memakan ulat sagu yang ditawarkan warga, dapat dimaknai bahwa kehadiran kita diterima. Makanan khas tersebut secara tidak langsung menjadi media pengikat persahabatan dan persaudaraan antara tamu dan masyarakat lokal.
Menjelang ritus tari ular masyarakat Pigapu mulai mempersiapkan diri. Yohanes Mapareyau, kepala suku masyarakat Pigapu berangkat ke Mapurujaya (tempat sejarah atau tempat hilangnya Mapurupuau[9]) Di sinilah, Yohanes datang menghadap leluhurnya. Ia meminta izin dan memohon keselamatan kepada leluhur agar Tari Ular yang digelar tiga hari lagi berlangsung lancar tanpa aral melintang.). Tari ular yang sakral adalah representasi sejarah terjadinya desa Pigapu dan desa lain sepanjang sungai Wania. Legenda Mapurupuau yang sangat diyakini masyarakat Pigapu berlatar sejarah ketika keberadaan sihir, roh dan ikatan anismisme yang masih tinggi. Di hutan yang tidak jauh dari desa Pigapu, beberapa orang dipimpin oleh Pak Liborius[10] mencari kayu untuk membuat patung ular. Setelah memilih kayu, Pak Liborius meminta ijin kepada penunggu pohon. Komunikasi ini wajib dilakukan, agar proses pembuatan patung berjalan lancar dan tidak berpengaruh buruk pada warga. Dalam ritual ini, Pak Liborius meletakkan sesaji berupa tembakau yang dibungkus dengan daun sirih. Dalam ritus tari ular, hanya Pak Liborius yang boleh membuat kepala patung ular.
Sejak proses pencarian kayu hingga pembuatan kepala ular, hanya keturunan Mapurupuau saja yang diperkenankan melakukannya. Beberapa orang lainnya hanya membantunya. Di bangunan yang disebut rumah besar, pembuatan patung ular mulai dikerjakan. Pak Liborius terfokus pada pembuatan kepala patung ular. Beberapa orang yang lain membuat badan ular. Pembuatan kepala patung ular hanya bisa dilakukan di tempat tertutup. Tidak bisa dikerjakan dihadapan orang lain, kecuali keluarga kandung Pak Liborius. Anak-anak pak Liborius pun, diajak untuk ikut dalam pembuatan kepala patung ular itu, sebab mereka adalah generasi penerus pembuatan patung kepala ular selanjutnya. Menurut keyakinan masyarakat Kamoro, pembuatan akhir sebagai momen yang sangat sakral. Mata dianggap sebagai sumber kehidupan. Ketika mata telah dipasang ke patung kepala ular, maka ular tersebut telah mempunyai roh. Patung ular yang telah mempunyai roh, bisa melihat orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena itu, mata patung ular ditutup selama tari ular belum dilakukan. Sesaat menjelang ritus tari ular dilaksanakan, barulah mata patung ular dibuka. Masyarakat Pigapu tidak berani melanggar keyakinan tarian tersebut, karena mereka percaya bahwa akan mendatangkan sakit bagi pembuat patung dan keluarganya.
Menjelang sore, masyarakat Pigapu mempersiapkan diri untuk memulai ritus tari ular. Dandanan khas suku Kamoro mulai dikenakan. Hiasan kepala dari bulu Cendrawasih dan Kasuari serta daun kelapa. Rok dibuat dari pucuk rumbia dan hiasan dari pucuk daun pohon sagu. Ritus tari ular dimulai. Masyarakat menari diiringi bunyi pukulan tifa. Pak Liborius keluar bersama beberapa orang dengan membawa patung ular. Tarian ular melambangkan keberadaan ular sebagai bagian utama dari sejarah Mapurupuau. Beberapa perempuan menangis karena larut dalam sakralnya tarian ini. Gambaran kehidupan tete atau leluhur mereka dahulu, tergambar dan menjelma dalam tarian ular ini. Tarian ular diakhiri dengan memasukkan patung ular kembali ke dalam rumah besar. Mata patung ular kembali ditutup untuk kemudian dikubur agar tidak mendatangkan bencana [Herwan, 07/06/2005, Kal Muler  Benediktus Makanaipetu, In Between, Just an ordinary jurnal: Legenda  Mapurupuau  Kamoro;

b)   Seni suara
Pada tahap akhir tapena (acara pembukaan pemisahan status lama kepada status sosial kelompok yang baru), biasanya ditandai dengan acara tifa duduk (Bake Iri), sambil menari dan menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa daerah [Yeremias Tsenawatme, 2002, Tradisi Budaya Menganyam Noken Suku Amungme-Kamoro, Waena; SMU YPPK Teruna Bakti, (Karya Tulis) hal. 5].

K.      Situasi Terkini Suku Kamoro (Evaluasi Kelompok Terhadap Adaptasinya Dalam Dunia Modern)
Dalam hubungan dengan kemajuan dunia modern, kelompok satu akan memberikan evaluasi dalam beberapa poin dari suku Kamoro. Alasan yang cukup mendasarinya adalah semakin majunya segala aspek di dunia ini, maka konsekuensinya segala segi terkait dengan kehidupan keseharian mereka pun memberikan signal keterbukaan untuk mengikutinya. Kami akan  membahasnya lebih lanjut di bawah ini:

1.    Bahasa
Ditinjau dari segi bahasa, masyarakat suku Kamoro telah mengalami kemajuan terkait dengan kemajuan teknologi yang terus merembesi seluruh pelosok termasuk Papua. Berkat masuknya misi Katolik dan kemajuan di bidang pendidikan, yang ditandai dengan berdirinya sekolah-sekolah telah membantu mereka untuk bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Kehadiran PT Freeport Indonesia sebagai satu perusahaan asing juga, memacu mereka untuk mempelajari bahasa asing, yang sangat membantu mereka untuk berkomunikasi dengan budaya yang lebih luas. Hal ini sangat dituntut bagi orang-orang suku Kamoro, yang menjadi karyawan perusahaan Freeport Indonesia.

2.    Sistem Teknologi
Kontak pertama antara penduduk Kamoro dan dunia luar kemungkinan terjadi dengan para pedagang dari Indonesia bagian barat yang mencari kulit kayu massoy (banyak digunakan untuk obat tradisional Jawa), bulu burung cenderawasih, getah damar untuk bahan penerangan dan mencari budak. Sebagai alat tukar, digunakan perkakas logam, gong dan kain-kain [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
Kemajuan teknologi yang dialami oleh suku Kamoro, dapat terlihat dalam hal pemakaian alat ukir, seperti pahat besi dan gergaji. Dalam tukar menukar, sebelumnya masyarakat suku Kamoro perkakas, gong dan kain, tetapi kini mereka sudah bisa menggunakan uang. Dahulu, para penari perempuan menari tanpa mengenakan bra, kini mereka sudah bisa memakainya [Radar Timika, Minggu, 11 Maret 2007, Perempuan Suku Kamoro.  http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=DwtTBA8HUlQC].

3.    Organisasi Sosial
Menurut hasil evaluasi kelompok I, kami berpendapat bahwa kepemimpinan dalam taparo sebagai orang berpengaruh dalam satu kelompok masyarakat, perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan oleh proses interaksi sosial dengan masyarakat migran. Meski tidak sepenuhnya hilang, namun sistem keterbukaan mereka telah membuka peluang bagi hilangnya sistem kepemimpinan mereka.
Dengan adanya tatanan atau lembaga sosial yang berpusatkan pada pemerintahan dan keamanan, yang memang dikendalikan secara penuh oleh pemerintah merupakan salah satu contoh konkritnya. Masuknya perusahaan juga membawa pengaruh yang sangat besar dalam tatanan sosial mereka terutama sistem kepemimpinan yang dikendalikan sepenuhnya oleh Pimpinan perusahaan. [Hasil wawancara langsung dengan Fr Agustinus Alua di Wisma Salib Suci, Sabtu 11 September 2010].
Proses interaksi sosial mereka dengan dunia luar telah membawa dampak positif mau pun negatif baik dari segi ekonomi, pengetahuan, dan kebudayaan. Interaksi mereka tidak hanya terbatas pada keluarga-keluarga inti atau pun keluarga dekat karena ikatan marga, namun mereka telah berinteraksi dengan masyarakat yang beda budaya yang jauh lebih kompleks termasuk dengan budaya asing.

4.    Mata Pencaharian
Dengan masuknya arus perkembangan dunia modern, masyarakat suku Kamoro mengalami satu pergeseran yang cukup memprihatinkan, khususnya berkaitan dengan mata pencaharian mereka. Sebelumnya, laut dan sungai menjadi sumber kekayaan yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun kini semuanya telah tiada. Kehadiran proyek raksasa, PT Freeport Indonesia menyebabkan mereka kehilangan mata pencaharian. Di sungai-sungai, tempat mereka mendapatkan ikan telah dicemari dengan limbah dari industri tersebut. Ikan-ikan yang biasanya mereka tangkap, mati terkena racun limbah. Lahan-lahan perkebunan yang mereka olah, diambil alih oleh pihak perusahaan.
Setelah masuknya PT Freeport mereka harus berpindah ke kota Timika. Berhadapan dengan situasi yang baru tersebut, mereka dituntut untuk menyesuaikan diri. Sebab, situasi hidup di kota lebih menuntut pengetahuan dan keahlian yang memadai. Meskipun, pihak perusahaan turut memperhatikan nasib mereka, karena kehilangan mata pencaharian, tetapi sebenarnya itu tidak cukup.

5.    Pandangan Dunia
Pandangan dunia terhadap suku Kamoro, kami bahas terkait kehadiran PT Freeprot Indonesia di Timika. Di satu pihak, perusahaan ini memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat suku Kamoro. Misalnya, salah satu dari kegiatan seperti Kamoro Kakuru atau Festival Kamoro yang telah delapan kali diselenggarakan, melalui kerjasama antara PTFI, LPMAK, Lemasko, Pemda, dan beberapa perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Mimika. Kali pertama, festival yang melibatkan ratusan pengukir Kamoro di hampir seluruh desa yang ada di Kabupaten Mimika ini, digelar pada tahun 1998 di kampung Hiripau. Tujuan dari penyelenggaraan festival ini adalah, untuk mengenalkan adat dan budaya suku Kamoro melalui penjualan kerajinan, lelang ukiran, pertunjukan tarian, dan demo makanan tradisional. Sedangkan bagi pengukir Kamoro, Festival Kamoro merupakan sarana bagi mereka untuk bertemu dan bertukar pikiran tentang adat budayanya; dan menjadi kesempatan untuk menjual ukiran dengan harga lebih tinggi.
Selain menyelenggarakan Kamoro Kakuru, berbagai kegiatan pameran juga digelar di beberapa kota, diantaranya adalah Kuala Kencana, Jakarta, Surabaya, dan Bali. Sebagian besar adalah atas undangan dari pihak penyelenggara, seperti keberangkatan kelompok kecil ke Belanda atas undangan pihak Rijk Museum. Perlu diketahui bahwa di museum ini, terdapat ukiran-ukiran Kamoro berumur lebih dari 50 tahun yang disimpan dan dipamerkan.  [Radar Timika, Jumat, 29 Agustus 2008 11:59 WIB, Budaya Timika,
Di lain pihak mereka terasa terancam, sebab mereka harus berhadapan dengan situasi perkembangan dunia yang lebih kompleks. Mereka menganggap PT Freeport Indonesia, telah merusak alam sumber utama kehidupan mereka. Sikap ini tidak berarti suku Kamoro tidak memiliki tuntutan, dan sepanjang tuntutan itu belum terealisasi optimal, beberapa orang anggota suku tentu saja akan selalu menjadi bagian pemrotes mengenai hal ihwal PT Freeport Indonesia [Dirgantara Wicaksono, 2010, Kondisi Geografis Mimika, Universitas Negeri Jakarta http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].

6.    Agama
Perubahan besar-besaran pada suku Kamoro terjadi pada tahun 1925 ketika sebuah pos pemerintah kolonial Belanda dan misi Katolik Roma didirikan di Kokonau. Maka segera terjadilah pengendalian kekuasaan dan penduduk Kamoro dipaksa/dibujuk untuk meninggalkan beberapa aspek kehidupan adat mereka misalnya upacara tindik hidung (tidak higienis), lalu mereka tinggal dalam rumah-rumah permanen di mana terdapat sekolah-sekolah dan rumah-rumah untuk satu kepala keluarga (lebih mudah dikendalikan), serta pemindahan kepercayaan dari animisme hingga memeluk agama Katolik Roma [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
Dalam sumber lain, dikatakan bahwa perjanjian Pastor Le Cocq d’Armanvil SJ untuk mendirikan misi di Mimika, baru digenapi 21 tahun kemudian, ketika Mgr. J. Aerts bersama Pastor Kowatzky, Guru Benedictus Renjaan dan Christianus Retob, tiba di Kokonao pada 9 Mei 1927 [Suara Gaiyabi, Media Internal Petugas Pastoral Keuskupan Timika, 80 Tahun Gereja Katolik di Mimika, Th. IV, No. 03-03, Juli-Agustus 2007, hal. 12].
Dengan masuknya misi Katolik dan pewartaan para Misionaris, maka masyarakat suku Kamoro mulai mengenal agama Katolik. Mereka secara perlahan-lahan, mendapat pemahaman baru tentang Sang Khalik, yang sebelumnya dikenal lewat alam sekitar.

7.    Kesenian
Dalam hal kesenian, masyarakat suku Kamoro cukup terkenal dengan hasil ukiran mereka. Hasil karya mereka itu, menarik perhatian orang banyak, baik yang ada dalam negeri maupun manca negara. Pihak pemerintahan Propinsi Irian Jaya (Papua), turut memberikan dukungan yang berarti, atas keunikan kesenian suku Kamoro tersebut. Sehingga dalam salah satu sumber dikatakan bahwa, pemerintah bertekad untuk mempertahankan budaya asli suku Kamoro, mengingat keunikan yang dimiliki, sekaligus aset yang berarti untuk memperkaya budaya bangsa Indonesia [Kompas, Sabtu, 1 Oktober 2005, Kebudayaan; Pemerintah Pertahankan Keunikan Suku Kamoro (Sambutan Gubernur Salossa, saat pembukaan Festival Budaya Suku Kamoro di Tigopo, Kabupaten Mimika].
Sebagaimana halnya di Afrika, Oceania, dan suku Dayak, warga Kamoro pun mampu menghasilkan patung-patung yang sangat mengagumkan, walau alat yang mereka gunakan amat sederhana. Jenis kesenian suku Kamoro, memberi ilham atau inspirasi yang berarti kepada banyak pelukis modern, terutama para penganut aliran Kubus dan Pablo Picasso dengan lukisannya Les Demoiselles D'Avignon, yang menampilkan wujud-wujud wanita dengan dua wajah seperti topeng-topeng Afrika [Blog Lembaga Pendidikan Papua, Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1].
Benda seni suku Kamoro yang terkenal sampai tingkat Internasional, memberikan semangat kepada para pengukir dan masyakarat untuk terus mengembangkannya. Menurut salah satu sumber dikatakan bahwa patung Mbitoro, hasil ukiran dari suku Kamoro, kini terpajang di Restoran Hotel Sheraton, Timika. Ukiran Kamoro juga telah satu abad terpajang di Museum Leiden, Belanda [Radar Timika, Minggu, 11 Maret 2007, Timotius Samin, Kegelisahan Pematung Kamoro http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=DwtTBA8HUlQC].

III.                   KESIMPULAN
Setiap budaya tentu mengalami suatu proses yang terus menerus, entah untuk melestarikan kebudayaan aslinya, maupun berusaha untuk mencoba berinteraksi secara integral dengan pengaruh budaya luar. Masyarakat suku Kamoro merupakan masyarakat yang terbuka untuk proses asimilasi. Dilihat dari segi ekonomis, uang telah menjadi penentu utama dan sebagai ganti ketergantungan mereka terhadap alam. Masuknya perusahaan yang turut dialami oleh masyarakat suku Kamoro, mendukung proses peralihan pekerjaan dari peramu menjadi karyawan, yang sangat menuntut keahlian yang khusus dan lebih mengandalkan sistem pengetahuan yang profesional. Bahasa asli perlahan mulai ditinggalkan, meski masih dipakai tapi hanya bagi orang-orang tua, dan menggantinya dengan bahasa Indonesia, bahkan karena suatu tuntutan, mereka harus belajar memakai bahasa asing, demi memperlancar hubungan komunikasi mereka dengan dunia luar yang lebih kompleks
Meski dunia luar melihat bahwa telah terjadi perubahan yang besar di dalam kebudayaan masyarakat suku Kamoro, tetapi mereka masih tetap mempertahankan tradisi kebudayaan asli, selain karena faktor buta aksara, buta bahasa asing, dan karena kurangnya pendidikan yang didapat sejak dahulu, tetapi juga karena ada masyarakat yang cenderung mengisolasi diri dari lingkungan sosial yang baru.

KEPUSTAKAAN

Ikikitaro, Yoseph. 2004. Ritus Inisiasi Karapao Suku Komoro dan Relevansinya Bagi Ritus Sakramen Inisiasi Kristen (Suatu Tinjauan Antropologis-Teologis). Jayaputa; STFT Fajar Timur (Skripsi).

Kompas. Sabtu, 1 Oktober 2005. Kebudayaan; Pemerintah Pertahankan Keunikan Suku Kamoro (Sambutan Gubernur Salossa, saat pembukaan Festival Budaya Suku Kamoro di Tigopo, Kabupaten Mimika.

Sedik, Andreas. 1996. Kehidupan Keluarga Amungme dan Kamoro di Kawasan Industri Pertambangan Freeport Irian Jaya (Studi Kasus Tentang Dampak Industri Pertambangan Terhadap Perubahan Sosial Dalam Keluarga). Bogor; Program Pascasarjana Intitut Pertanian (Thesis).

Slamet, Dra. Ina C. 1964. Kehidupan Suku-Suku Irian Barat. Djakarta: Bharatara.
Suara Gaiyabi, Media Internal Petugas Pastoral Keuskupan Timika, 80 Tahun Gereja Katolik di Mimika. Th. IV, No. 03-03, Juli-Agustus 2007.

Tsenawatme, Yeremias. 2002. Tradisi Budaya Menganyam Noken Suku Amungme-Kamoro.  Waena; SMU YPPK Teruna Bakti (Karya Tulis).

Blog Lembaga Pendidikan Papua (LPP). Suku Kamoro. http://www.lpmak.org/kamoro.php?_p=1.

Herwan. 07/06/2005, Klik di sini untuk membatalkan balahttp://herwan.wordpress.com/2005/06/07/legenda-mapurupuau-komoro/.


Makanaipetu, Kal Muler  Benediktus. 2005. In Between (Just an ordinary jurnal) Legenda Mapurupuau Kamoro.

Pouwer, Jan. Kamorania: A Brief Account of Recent Acquisitions. http://cps.ruhosting.nl/32/nb32a.html.

Pramundito dan Sukmadianto. Liputan6.com. 11/11/2006 15:36, Kesederhanaan Suku Kamoro.

Radar Timika. Minggu, 11 Maret 2007. Timotius Samin, Kegelisahan Pematung Kamoro. http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=DwtTBA8HUlQC.

Wicaksono, Dirgantara. 2010, Kondisi Geografis Mimika. Universitas Negeri Jakarta http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html.

Hasil wawancara langsung dengan Fr Agustinus Alua di Wisma Salib Suci, Sabtu 11 September 2010.




     [1]Pramundito dan Sukmadianto, Liputan6.com, 11/11/2006 15:36, Kesederhanaan Suku Kamoro, http://berita.liputan6.com/progsus/200611/132360/class=%27vidico%27.
     [2]Ibid.
     [3]Harjuno Pramundito dan Budi Sukmadianto, Liputan6.com, Op. cit.,  
     [4]Artinya; Kepiting Bakau. Jenis makanan inilah yang biasa dicari oleh kaum perempuan beserta anak-anaknya. 
    [5]Dirgantara Wicaksono, 2010, Kondisi Geografis Mimika, Universitas Negeri Jakarta http://www.gudangmateri.com/2010/08/konflik-dan-gerakan-sosial-papua.html].
     [6]Tas makanan di punggung. 
     [7]Tambelo menurut keyakinan suku Kamoro; sebagai sumber protein dan dapat menjaga tubuh mereka dari serangan nyamuk malaria. Tambelo yang layak untuk dimakan adalah berwarna putih bening serta tidak terdapat kotoran kulit kayu di dalamnya.
     [8]Andreas Sedik, 1996, Kehidupan Keluarga Amungme dan Kamoro di Kawasan Industri Pertambangan Freeport Irian Jaya (Studi Kasus Tentang Dampak Industri Pertambangan Terhadap Perubahan Sosial Dalam Keluarga), Bogor; Program Pascasarjana Intitut Pertanian (Thesis), hal. 63-64.
     [9]Mapurupuau adalah seorang tokoh penting bagi masyarakat Pigapu.
     [10]Pak Liborius adalah keturunan 12 dari Mapuruau, yang memimpin rombongan pencari kayu patung ular. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar