SUKU BANGSA MEE
I.
Latar
Belakang
Masyarakat
suku Mee yang hidup di Pegunungan Papua kadang diidentikan dengan peternak
(babi) dan pekerja kebun yang keras. Kenyataan ini menunjukan bahwa
masing-masing keluarga pada umumnya memiliki kebun dan memelihara babi. Dua
profesi ini ditemukan dalam setiap pribadi masyarakat suku Mee dan menjadi ciri
khas bagi mereka. Banyak waktu yang diluangkan untuk berkebun dan berternak
mengindikasikan bahwa dua kegiatan tersebut seakan sangat penting untuk hidup
mereka. Jika dua kegiatan tersebut dianggap penting maka tujuan dari dua
kegiatan ini sangatlah mendasar dan penting pula. Umumnya, orang berpikir
bahwa tujuan dari suatu pekerjaan selalu menjurus kepada kebutuhan konsumsi
sebagai kebutuhan fundamental manusia. Namun, pikiran tersebut jika dipakai
pada masyarakat Mee dan diperhadapkan dengan alam masyarakat Mee yang kaya
dan yang telah menyediakan berbagai kebutuhan
konsumsi, maka akan muncul pertanyaan penting seperti, untuk apa orang Mee
harus bersusah-susah mengusahakan kebun dan ternak jika tujuannya hanya untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi? Mengapa
mereka tidak berprofesi sebagai peramu? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu menarik
jawaban yang tidak hanya sebatas pada pemenuhan kebutuhan konsumsi melainkan
ada juga tujuan yang bagi orang Mee tidak kalah pentingnya dengan pemenuhan
kebutuhan konsumsi.
II.
GAMBARAN
UMUM
A.
Lokasi
dan Lingkungan alam
1.
Nama
Lokasi dan kondisi geografis[1]
Letak
daerah yang didiami suku Mee, secara geografis terletak antara 135o -137o Bujur
Timur (BT) dan 3o – 4o Lintang Selatan (LS). Daerah ini merupakan daerah
pegunungan atau daerah pedalaman dengan diselingi lembah yang dalam. Wilayah
suku ini terletak pada ketinggian 1.765 di atas permukaan laut dengan luas
wilayah mencapai 855, 64 kilometer persegi. Sedangkan letak kordinat antara
136o12, 02 – 137o 30 Bujur Timur dan 2o30’-4o25’ Bujur Timur.
Wilayah
suku Mee berbatasan dengan suku-suku tetangga yakni:
a. Wilayah
timur berbatasan dengan suku Moni, Dauwa, Wolani - kabupaten Paniai dan suku
Amungme, Nduga, Damal - kabupaten Mimika.
b. Wilayah
Barat berbatasan dengan suku Meer, Iresim, Wate, Yaur, Moor-Mambor - Kabupaten
Nabire dan Kamoro - Kabupaten Mimika.
c. Wilayah
selatan berbatasan dengan suku Kamoro - Kabupaten Mimika.
d. Wilayah
tenggara berbatasan dengan suku Amungme, Damal, Moni - Kabupaten Mimika.
e. Wilayah
utara berbatasan suku Auye dan suku asli lainnya di Kabupaten Waropen.
Suku
Mee dikenal dengan beberapa sebutan yaitu orang Kapauku, orang Ekagi, orang
Paniai dan orang Mee. Sebutan-sebutan ini secara langsung mengundang orang
untuk bertanya tentang banyaknya sebutan atau nama untuk satu suku tersebut.
Oleh karena itu, penulis hendak memberikan pemahaman terkait sebutan-sebutan
itu.
a. Nama
Kapauku adalah nama yang dipakai oleh suku Komoro untuk menyebut suku Mee.
Sesunggunya Kapauku berarti orang di balik gunung.
b. Nama
Ekagi (Ekari) merupakan nama yang yang dipakai oleh suku bangsa Migani (Moni)
untuk menyebutkan orang Mee. Sebutan Ekagi dipakai sebagai suatu penghormatan
akan orang-orang yng memiliki sifat laki-laki dengan nada sinis.
c. Nama
Paniai merupakan nama yang dipakai oleh pemerintah untuk menyebutkan suatu
wilayah kabupaten.
d. Nama
Mee muncul dari dalam suku Mee. Nama Mee erat kaitannya dengan pengetahuan,
sikap, ketrampilan dan perbuatan setiap pribadi. Apabila setiap orang mampu
mengungkapkan, mewujudkan atau menerapkan pengetahuan melalui sikap,
keterampilan maupun perbuatan yang benar, baik dan berguna sesuai standar nilai
budaya maka dirinya akan disebut Mee,
manusia sejati.
2.
Lingkungan
Alam
Di
wilayah suku Mee terdapat banyak lembah. Lembah-lembah tersebut adalah lembah
Kamu, Debei, Agadide, Obano, Weadide, Weneuwodide, Kegata, lembah Paniai,
lembah Tage, Lembah Tigi, dan Okomodie, kecuali daerah Mapia yang meliputi
lereng-lereng gunung, perbukitan sampai daerah berhawa panas Topo, Distrik
Uwapa, Kabupaten Nabire. Berbagai lembah, gunung, lereng, bukit, danau, dan
sungai secara alami telah membentuk daerah dingin dan daerah panas.
Sehubungan
dengan itu, suhu udara[2] di
sekitar danau Paniai yakni danau Tigi dan Tage bervariasi antara 10 derajat
Celcius – 30 derajat Celcius. Suhu udara pada siang hari berkisar sampai 28
derajat Celcius, sementara pada malam hari kadang suhunya dingin, yakni
mencapai 6 derajat Celcius. Di daerah suku Mee, curah hujan yang terjadi
rata-rata berkisar antara 1.500 - 4.000 mm/tahun.
B.
Bahasa
Masyarakat
Mee memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Mee atau Mee Mana. Mee mana menduduki
posisi sangat penting dalam kehidupan suku sebagai sarana pemersatu dan sebagai
warisan nenek moyang orang Mee sendiri tanpa memperkenalkan bahasa lain.[3]
C.
Sistem
mata pencaharian
Orang
Mee sudah mengenal beberapa sumber mata pencaharian hidup dari zaman leluhur.
Sumber mata pencaharian menjadi penopang
bagi kehidupan mereka di dalam komunitas. Mata pencaharian sebagai penopang
kehidupan akan dilakukan melalui kegiatan seperti berladang atau berkebun,
beternak babi, berburu dan menangkap udang atau ikan. Namun dalam kenyataannya,
ada pemilahan-pemilahan berdasarkan mata pencaharian yang pokok atau primer dan
sampingan atau sekunder. Berkebun atau berladang dan berternak (memelihara
babi) merupakan mata pencaharian pokok
dan yang lainnya sebagai pekerjaan sampingan - (selengkapnya dapat dilihat pada
bab III tulisan ini).
D.
Organisasi
sosial
1.
Perkawinan
Tatacara
adat perkawinan suku Mee diawali dengan
suatu penilaian yang dilakukan orang tua atas kedewasaan serta kerajinan
anaknya yang akan dinikahkan. Kemudian orang tua kedua belah pihak mulai
mengadakan pembicaraan awal, yang disusul dengan lamaran. Pada waktu melamar
pihak keluarga pria menyerahkan sejumlah harta dan mas kawin.[4]
Mas kawin biasanya dibagi antara kerabat ibu dan ayah calon mempelai wanita.
Sesudah menikah, pasangan pengantin Mee menetap secara virilokal. Secara adat,
suku Mee mengenal dua sistem perkawinan, yakni perkawinan monogami dan
perkawinan poligami.[5]
Mereka tidak mengenal perkawinan poliandri.
2.
Kepemimpinan
Telah
dipelajari dalam perkuliahan Antropologi Papua II bahwa di seluruh wilayah
Papua terdapat empat tipe kepemimpinan, yakni: Tipe kepemimpinan pria berwibawa
(big-men), tipe kepemimpinan raja,
tipe kepemimpinan kepala klen, dan tipe kepemimpinan campuran. Khusus untuk
suku Mee, tipe kepemimpinan yang terdapat di sana adalah tipe kepemimpinan pria berwibawa (big-men) di mana terdapat empat komponen
yang saling berpengaruh, yaitu:[6] Tonowi, yang dimaksud dengan Tonowi adalah orang yang memiliki
kemampuan (pengetahuan, keterampilan, sikap, harta) pribadi yang
dipergunakannya untuk melayani orang lain dengan tidak terikat pada kekuatan
orang lain dalam kekuasaan dan kewibawaannya; Ogai, yang dimaksud adalah orang yang memberi keputusan atau
menentukan sikap pribadinya untuk berkompetisi karena telah berpikir atau
merefleksikannya; Ogai Tonowi, yang
dimaksud adalah orang yang mengambil keputusan dari dirinya sendiri untuk
berkompetisi atas kemampuan (pengetahuan, keterampilan, sikap, harta) pribadi
dengan mempergunakan kekuasaan dan kewibawaan; Masyarakat, yang dimaksud adalah suku Mee secara umum yang mendapat
pengaruh politik dari ketiga komponen di atas.
III.
BERTANI
DAN BERTERNAK, KEGIATAN EKONOMI TERPENTING MASYARAKAT SUKU MEE
1.
Bertani
Kata
pertanian, oleh orang Mee disebut dengan istilah populer yaitu bugi. Istilah tersebut menunjukkan bahwa
sitem pertanian mereka bukanlah berupa sawa-sawahan atau sejenisnya melainkan
ladang. Biasanya, orang Mee membuat ladang tepatnya di sekitar lereng
perbukitan, lembah, pesisir danau atau pinggiran sungai atau juga tergantung
dari tempat tinggal mereka.
Tentu,
pertanyaan bagaimana orang bertani, tidak akan terlepas jawabannya dari alat
yang digunakan untuk melakukan aktivitas bertani tersebut. Orang Mee sejak
zaman dahulu, untuk mengerjakan ladang, alat yang mereka gunakan adalah alat
yang sangat sederhana dan tradisional. Sebut saja alat-alat kerja, seperti
alat-alat yang terbuat dari batu (maumi,
wadi, dan patau) dan kayu. Fungsi
mauwi atau kapak batu adalah
digunakan untuk menebang pohon yakni ketika sebuah ladang (baru) dibuka; Wadi
berfungsi sebagai linggis atau garpu untuk mencungkil dan mengeruk tanah; sedangkan, patau berfungsi sebagai skop atau pacul
untuk mencangkul dan menggemburkan tanah.
Perubahan
yang dialami oleh masyarakat Mee, yakni dengan dialaminya pengaruh dari luar, maka
alat-alat pertanian mereka pun ikut berubah. Alat-alat yang digunakan bukan
lagi berupa batu atau kayu melainkan berupa besi atau baja sebagaimana yang
dikenal oleh masyarakat umum. Perubahan ini merupakan suatu perubahan positif.
Ini dikarenakan oleh alat-alat yang terbuat dari besi tersebut sangat
mempermudah pekerja, cepat, tidak mudah patah dan mudah diasah bila sudah
tumpul. Berbeda dengan alat-alat sebelumnya yang kualitasnya masih belum baik: patau atau wadi tidak bisa diasah kalau sudah tumpul sehingga harus diganti,
sementara maumi bisa di asah namun itu hanya jika masih tetap
baik. Pengaruhnya terhadap pekerjaan (jika dibandingkan dengan pekerjaan dengan
menggunakan alat-alat besi) yakni pekerjaan menjadi lambat selesainya.
Pekerjaan
berladang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dengan pembagian tugas kerja
secara jelas.[7]
Tugas laki-laki adalah membuka ladang.[8]
Pekerjaan yang termasuk dalam penugasan tersebut adalah menebang pohon-pohon
besar, memotong dahan-dahan kayu, membersihkan dan membakar sisa-sisa ranting
atau daun-daun (yang ditebang tadi) yang sudah dikeringkan.[9]
Selanjutnya, laki-laki mengambil dan menjadikan batang-batang kayu yang
ditebang tadi sebagai pagar atau pelindung kebun (bugi eda wagi). Tujuan utama membuat pagar (eda) tersebut adalah melindungi ladang dari liarnya binatang yang
biasanya masuk dan merusak bugi atau
ladang.
Tugas
perempuan mungkin hanyalah melanjuti pekerjaan yang telah dilakukan kaum pria.
Meskipun hanya melanjuti, namun pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak kalah
beratnya dengan pekerjaan yang ditugaskan
kepada kaum pria. Pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah memulai pekerjaan
menanam, memelihara tanaman, dan menuai hasil tanaman di ladang tersebut.
Dengan
memberikan informasi tentang alat-alat untuk berladang serta pembagian tugas
berladang antara laki-laki dan perempuan, secara langsung kita diberikan
gambaran tentang bagaimana orang Mee berladang. Cara berladang mereka mungkin
tidak berbeda jauh dengan cara berladang pada umumnya. Namun, yang cukup unik dari
cara berladang orang Mee adalah dibuatnya pagar setinggi satu sampai dua meter
yang mengelilingi ladang (perlindungan tanaman).[10]
2.
Berternak
a.
Berternak
Babi – Ekina Muni[11]
Perternakan
babi adalah peternakan khas orang Mee. Dikatakan demikian karena perternakan
ini lahir sendiri dari tengah-tengah orang Mee tanpa pengaruh dari luar. Pada
bagian ini kita akan melihat bagaimana caranya babi dipelihara oleh orang Mee.
Setelah
babi sudah beranak biasanya babi tersebut dibiarkan anaknya berjalan bersama
induknya selama satu bulan, waktu ini merupakan waktu di mana anak-anak babi
tersebut masih liar dan tidak bisa dipegang atau ditangkap. Enam bulan dihitung
setelah babi beranak, semua anak babi ditangkap dan dipisahkan dari induknya.
Kemudian anak-anak babi tersebut dibagikan kepada orang-orang untuk
memeliharanya, biasanya diberikan kepada perempuan-perempuan untuk
memeliharanya. Anak babi akan diberi nota
yang sudah dimasak. Menjelang malam hari, anak babi dimasukan ke dalam
rumah. Ketika anak babi sudah besar, ia dikembalikan kepada pemilik asal, atau
dibawa ke tempat-tempat yang berawa, agar anak-anak babi belajar
membolak-balikan tanah. Pada sore hari babi tersebut dibawa pulang ke rumah.
Ketika sudah menjadi babi dewasa babi dilepaskan untuk mencari makan sendiri di
tengah hutan atau di rerumputan. Ketika matahari mulai terbenam, babi-babi
dipanggil pulang kemudian dibawa pulang. Babi-babi tersebut biasanya tinggal di
bawah kolong rumah atau kandang khusus yang dibuat di samping rumah. Babi-babi
memperoleh makan dari prmilik babi dua kali sehari, yaitu pagi dan sore.
Begitu
besar perhatian seorang perempuan terhadap anak babi, sehingga seakan-akan ia
menjadi ibu yang menggantikan induknya. Tampak, untuk menjinakan anak babi,
anak babi tersebut diisi dalam sebuah noken
khusus dan dibawa ke mana saja mereka pergi.
b.
Berternak
Hewan lain.
Dilaporkan
oleh Andy Mikael Bunapa, bahwa kesulitan daerah menyebabkan perternakan secara
besar-besaran tidak terdapat di Mapia atau Paniai. Ada pula ternak Ayam, itik
tetapi itu disebabkan oleh pengaruh luar.[12]
Sehingga kemungkinan adanya ternak atau perternakan hewan lain selain babi
merupakan suatu hasil pengaruh yang di bawah masuk oleh orang luar.
Tampak,
dalam lingkungan masyarakat Mee, terdapat ternak-ternak tertentu seperti sapi,
ayam, dll yang diternakkan oleh masyarakat asli sendiri. Tentunya itu bukanlah
asli hasil usaha sendiri orang Mee, melainkan adanya piak-pihak luar tertentu
yang memberikan pengaruh. Yayasan P-5
yang didirikan oleh Gereja Katolik Lokal
di Moenamani yang bergerak di bidang ekonomi, pendidikan yang bersifat
informal adalah salah satu pihak yang memiliki peran dalam pengaruh tersebut.[13]
Yayasan ini memberikan dan membuka kesempatan bagi orang Mee untuk berternak
hewan lain seperti bebek, ayam, kelinci, sapi, angsa dan kuda.
Terkait
dengan cara memelihara atau berternak hewan lain, bagi orang Mee oleh Yayasan
P-5 disediakan Sekolah Pertanian Lanjutan (SPL). Sekolah ini mempersiapkan para
siswa yang adalah orang Mee asli untuk mengusahakan usaha taninya, termasuk di
dalamnya bagaimana cara berternak. Hasil penelitian mahasiswa tingkat II STTK
tahun 1984 tidak menguraikan secara langsung bagaimana orang Mee atau para
lulusan SPL berternak hewan lain melainkan mereka hanya melaporkan bagaimana
hasil yang diperoleh dari pengaruh masuknya Yayasan P-5. Mereka menggolongkan
hasil perternakan para lulusan SPL ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok yang
hasilnya baik, sedang dan jelek. Ini menunjukkan baik buruk hasil perternakan
sangat besar dipengaruhi oleh kemauan orang untuk berternak. Di SPL sudah
diberikan cara-cara berternak. Sehingga selanjutnya bagaimana cara-cara
tersebut digunakan dalam prakteknya. [14]
Selain
dari pihak Gereja, ada pula program dari pemerintah dengan memberikan beberapa
jenis ternak: angsa, kambing dan domba bagi orang Mee. Namun, ternak tersebut
diberi saja tanpa memberi pembekalan (cara memelihara ternak) kepada masyarakat.
Masyarakat yang memperoleh bibit ternak tersebut akan memeliharanya dengan cara
yang sesuai dengan kemampuan pribadinya.
3.
Bertani
dan berternak sebagai kegiatan ekonomi yang mendasari kehidupan orang Mee
a.
Kebutuhan
konsumsi (makan) bergantung pada hasil kebun
Pada lahan ladang yang telah disediakan,
orang Mee menanam berbagai macam tanaman seperti tanaman ubi jalar,
sayur-mayur, pisang, tebu, kacang dan beberapa jenis tanaman buah yakni
markisah, terong (pengaruh luar). Tanaman ubi dikenal dalam berbagai macam
varietas ubi jalar: Petatas atau ubi jalar (nota),
keladi (nomo), dan talas (dee). Tanaman sayur pun terdiri dari
beberapa macam: Sayur ganemo (dade),
sayur hitam (digiyo napo atau uguba), sayur bayam (idaiya).
Tanaman-tanaman tersebut dipelihara dan
dijaga dengan baik oleh mereka. Pembuatan pagar yang mengelilingi kebun adalah
bentuk dari perlindungan kebun dari serangan binatang-binatang, tugas merawat
tanaman hingga waktu menuai oleh
perempuan dan proses pembuatan dan
pemeliharaan kebun adalah suatu keharusan. Semua yang dilakukan punya tujuan
yang sangat mendasar yakni mengusahakan dan dapat memperoleh hasil yang baik.
Karena jika tidak memperoleh hasil yang baik atau buruk maka konsekuensinya
pada kehidupan sangatlah besar.
Orang Mee memiliki kebiasaan mengambil
atau memanen sedikit demi sedikit hasil kebun dan tidak memanen seluruhnya.[15] Mereka memiliki perhitungan “makan hari ini”
dan meninggalkan stok makan untuk besok dan seterusnya. Pengaturan konsumsi
atau kebutuhan makan dengan mudah dilakukan. Namun, hal itu mengandaikan jika
hasil kebunnya baik. Perlu diketahui pula bahwa sebelum membuka kebun orang Mee
sudah membuat target untuk berapa lama hasil dari kebun yang akan dibuka ini
dapat menghidupi mereka, sehingga ukuran kebun pun, tanamannya disesuaikan.
Jika tidak memperoleh hasil yang baik maka mereka akan kewalahan untuk mengatur
konsumsi mereka. Mereka dapat mengambil seluruh hasil kebun dalam sekali panen
dan tidak meninggalkan stoknya.
Kebun atau ladang menjadi tempat
bergantungnya kehidupan dan sumber pangan orang Mee erat kaitannya dengan mata pencaharian pokok mereka. Mata
pencaharian pokok mereka adalah bercocok tanam. Satu-satunya mata pencaharian yang dapat
menghidupi mereka adalah berkebun sehingga wajarlah ada istilah yang berkembang
di lingkungan orang Mee, yakni “tidak ada kebun maka tidak makan”. Namun pada
umumnya mereka semua memiliki kebun dengan hasil yang baik.
b.
Fungsi
kebun bagi keberlangsungan perternakan
Selain
bermanfaat untuk kebutuhan konsumsi atau makan manusia, kebun juga punya
manfaaat yang sangat penting khususnya dalam bidang perternakan. Kebun yang
dibuat oleh orang Mee biasanya ditanami dengan tanaman ubi. Tanaman ubi
dikenal. Mereka menanam beberapa jenis ubi jalar sesuai kebutuhan konsumsi.
Hasil kebun memiliki dua manfaat yang penting, pertama, bermanfaat bagi kebutuhan konsumsi atau makan manusia, dan
kedua, bermanfaat bagi keberlangsungan
hewan ternak.
4.
Bertani
dan berternak adalah kegiatan yang penting dalam kehidupan orang Mee
a.
Memiliki
banyak ternak dan kebun sebagai tujuan politik
Kehidupan
orang Mee sangat menyatu dengan kebun dan perternakan babi. Dengan adanya kebun
yang siap menghasilkan ubi, baik manusia maupun ternak dapat menikmati hasil
kebun tersebut. Selain itu, kebun dan ternak memiliki arti dalam aspek politik
mereka. Di kalngan masyarakat Mee, ternak babi mempunyai peran penting. Babi
bukan hanya merupakan sumber protein bagi mereka melainkan juga merupakan
sumber yang paling mendasar untuk memperkokoh kekayaan dan prestise.
Memiliki
banyak babi dapat menghantar seseorang untuk sampai ke tangga hierarki
kekuasaan politik dan hukum Adat dalam budayanya. Untuk mencapai posisi
tersebut, mula-mula orang membuka kebun dan memperbanyak kebun dengan menanam nota seperti telah dijelaskan di atas.
Kemudian orang membeli anak atau menghutang babi betina dari kenalan atau
saudara-saudara atau sahabat-sahabat. Anak babi tersebut harus dipelihara dan
dijaga dengan tekun hingga babi berkembang menjadi banyak. Apabila seseorang
sudah memiliki jumlah ternak babi dalam jumlah yang banyak, maka ia akan
memperoleh banyak uang mege.
Selnjutnya, ia akan mampu mengembangkan kegiatan usahanya dan dapat membantu
orang lain yang mengalami kesukaran.
Banyak
uang atau mege yang diberikan dengan
ikhlas (tujuan membantu) kepada orang lain menghantar orang tersebut ( si
pemberi bantuan) untuk meningkatkan
prestisenya di mata orang lain dan karenanya
status sosial dan status politiknya ditingkatkan dalam masyarakat.
Dengan cara ini seseorang akan diakui sebagai tonowi atau orang kaya. Orang Mee selalu mengejar suatu tingkat
kehormatan dari komunitasnya melalui tindakan-tindakan konkrit untuk mencapai tonowi.[16]
c.
Pentingnya
babi dalam hubungan sosial dan ekonomi
Babi
selain sebagai tujuan politik, babi juga memiliki peran penting dalam hubungan
sosial-ekonomi orang Mee. Dalam hal ini, babi memiliki fungsi yang amat penting
untuk kepentingan perkawinan, yakni dijadikan sebagai mas kawin. Babi
pun sebagai latar belakang adanya pesta yuwo
yang merupakan satu-satunya pesta budaya bagi orang Mee.
· Babi
sebagai mas kawin
Dalam
perkawinan orang Mee, perkawinan yang paling ideal adalah perkawinan yang
mendapat persetujuan orang tua. Jika telah ada persetujuan pada masing-masing
pihak pria dan wanita dan di antara kedua bela pihak maka proses selanjutnya
adalah pembayaran mas kawin sesuai ketentuan pihak gadis. Besarnya mas kawin
untuk suku Mee berkisar antara lima ratus ribu rupiah sampai lima juta rupiah.[17] Rupiah adalah alat bayar resmi, uang kerang
tidak digunakan lagi.
Dalam
pokok ini yang menjadi titik pembahasan adalah babi sebagai mas kawin. Babi
sebagai mas kawin terjadi pada keadaan tertentu
saja. Keadaan tertentu yang dimaksudkan adalah keadaan di mana anak gadis
hamil tanpa sepengetahuan orang tua, atau anak gadis terpaksa kawin dengan pria
yang tidak dikehendaki orang tua, atau juga babi dijadikan sebagai mas kawin
ketika sebelum kawin pihak wanita sudah mendengar kata-kata sinis dari kerabat
pria. Jadi, babi digunakan sebagai alat pembayar (ganti rugi) atas ketiga
alasan di atas.[18]
Hal
lain yang perlu diketahui bahwa babi digunakan sebagai mas kawin bukan berarti
hanya dengan babi urusan pria dalam perkawinannya selesai. Sebagaimana babi
dijadikan sebagai mas kawin karena alasan-alasan di atas, maka dalam
perkawinan, babi hanya digunakan untuk mengganti kesalahan yang telah dibuat.
Selanjutnya masih ada uang yang harus disertakan dengan babi tersebut.[19]
Uang harus disertakan karena uang sebagai standar mas kawin seperti dalam
perkawinan biasanya (perkawinan tanpa kesalahan).
· Babi
dalam Pesta yuwo
Kekhasan
dari pesta yuwo adalah babi. Begitu banyak babi akan dipanah saat itu. Oleh karena itulah, maka pesta yuwo biasanya lebih populer disebut
dengan pesta babi. Pesta tersebut telah
dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya (beberapa tahun) dan akan melibatkan
banyak orang. Pada saat hari di mana pesta tersebut diselenggarakan, telah ada
banyak babi yang jumlahnya mencapai ratusan ekor yang siap untuk dipanah atau disembelih.
Pesta akan dihadiri oleh banyak orang dari berbagai kampung yang datang dengan
membawa megenya dan akan ikut dalam
transaksi penjualan dan pembelian babi. Semakin banyak tamu, semakin laku
penjualan babi dalam pesta tersebut.
Melalui
pesta babi tersebut, bukan saja transaksi penjualan dan pembelian babi terjadi,
namun ada pula hal lain yang dilakukan dan dihasilkan. Orang mengggunakan
kesempatan tersebut untuk memperdagangkan hasil kebunnya, kerajinan tangan dan
sebagainya. Lebih jauh dari itu, ada satu hal yang sangat penting terjadi,
yakni sejumlah orang memperkukuh, mempererat hubungn lama dan baru antartamu.
Atau pun pesta yuwo menjadi saat yang
cocok untuk memperbaiki hubungan yang sempat rusak. Sehingga di sana, tejadi
suasana mengampuni. Tak kalah menariknya juga, orang menggunakan pesta tersebut
untuk membahas masalah-masalah besar, mendiskusikan dan memecahkannya. Hal ini
yang membuat pesta yuwo selalu
diakhiri dengan damai.
Uraian
di atas mungkin menjadi alasan mengapa penulis berani mengatakan bahwa babi
memiliki peran penting dalam hubungan sosial-ekonomi orang Mee. Babi yang
menjadi alasan awal dan mendasar dari penyelenggaraan pesta yuwo mengundang orang untuk melakukan
hal-hal yang lebih penting dari sebatas menjual dan membeli babi. Dari segi ekonomi, orang akan memperoleh mege yang banyak (penjual babi) atau
babi yang banyak (pembeli) dari pesta tersebut; dengan alasan pesta babi, orang
turut menjual hasil kebun dan kerajinan tangannya. Dari segi sosial, hubungan orang dipererat dan
diperkukuh, diperbaiki jika selama itu rusak. Semua itu terjadi karena babi.
5.
Mata
pencaharian lain
a.
Mata
pencaharian lain sebagai pekerjaan sampingan
Berladang
atau berkebun adalah mata pencaharian pokok. Adapun mata pencaharian lain yang
dijadikan orang Mee sebagai mata pencaharian sampingan, misalnya:
ü Berburu
(woda ubai)
Kegiatan berburu adalah kegiatan yang
diwarisi dari leluhur dan dilakukan hanya khusus oleh kaum pria. Berburu
merupakan kegiatan sampingan di mana dilakukan pada malam hari.
Binatang-binatang yang menjadi sasaran buruan mereka adalah kus-kus (yaa, woda), tikus tanah (kedei), dan jenis-jenis binatang liar
seperti babi hutan, kangguru, babi, burung kasuari, burung mambruk, burung
maleo (ayam hutan) dan jenis-jenis binatang langka lain. Kecuali babi bule,
yang dianggap keramat oleh orang Mee karena menurut mitologi mereka, babi bule
diciptakan oleh Eguwai[20] bersama-sama dengan manusia pertama.[21]Dalam
berburu biasanya diikutsertakan juga anjing piaraan yang sudah dilatih khusus
untuk hal berburu dengan insting ciuman yang tajam dan memberi rangsangan
kepada orang yang berburu.
Dalam berburu atau woda ubai alat yang digunakan selalu adalah busur (uka) dan panah (mapega) serta juga dengan cara memasang jerat (boke mainai). Berburu dengan cara membuat jerat biasanya melalui
proses demikian: pada siang hari orang mencari sarang binatang untuk memasang
jerat; jerat dipasang dan ditinggalkan; baru besok jerat tersebut dilihat
apakah sudah mengenai binatang sasaran. Orang Mee biasanya juga menggunakan
ilmu gaib yang dengannya diharapkan dapat memanggil dan menangkap binatang.[22]
Berburu sebagai pekerjaan sampingan oleh
penduduk suku mee, tidak menutup kemeungkinan akan mendatangkan pendapatan
pribadi atau pendapatan keluarga cukup besar. Hasil buruan tersebut akan
dikonsumsi atau sebagiannya dijual dan dibagi kepada keluarga tetangga.
ü Menangkap
dan mencari udang
Pada
point lokasi alam, diinformasikan bahwa di wilayah suku Mee terdapat tiga danau
besar yakni danau Tigi, Tage dan Paniai. Danau-danau tersebutlah yang
menjadikan mereka juga bermata pencaharian sampingan sebagai pencari udang dan
penangkap ikan.
Muncul
dengan sendirinya kelompok pencari udang di kalangan ibu-ibu karena kebiasaan
mereka yang senang menangkap udang dan itu dilakukan bersama-sama. Cara mencari
udang bagi mereka di sekitar danau, pinggir sungai atau kali atau telaga
terbentuk secara alami. Pada malam hari mereka melihat atau mencari
tempat-tempat di mana terdapat udang (udepa
umi, geni miyo) sementara pada siang hari mereka mulai menangkapnya (udi kena). Dalam mencari dan menangkap
ikan, mereka menggunakan jala (ebai).
Ebai terbuat dari tali kulit kayu (gaa) dan tali rumput (ikiya). Kulit kayu dan tali rumput akan
dipintal secara rapi dan dianyam sesuai kesukaan ibu-ibu dengan bentuk umumnya
bulat lonjong.
Dikatakan
mencari dan menangkap udang sebagai pekerjaan sampingan dikarenakan oleh alasan
bahwa tempat tinggal kebetulan terletak dekat dengan danau atau tempat mencari
udang tersebut. Mereka hanya sebentar saja meluangkanwaktu untuk mencari dan
menangkap udang sedangkan banyak waktu digunakan untuk berada di ladang dan
memelihara babi.
b.
Mata
pencaharian lain tidak menjamin kehidupan
Mata
pencaharian lain yakni mata pencaaharian selain berladang dan memlihara babi
dikatakan tidak menjamin kehidupan karena adanya alasan:
Mata
pencaharian lain tidak selamanya memberikan hasil yang baik. Berburu dan
mencari udang terkadang memberikan hasil yang banyak, dan terkadang sedikit
atau juga terkadang tidak memperoleh apa-apa. Jika hasilnya tidak menetap dan
berubah-ubah sangat sulit bagi orang untuk mengatur kehidupannya: konsumsinya,
kebutuan lainnya. Orang tidak punya rencana ke depan karena semuanya serba
tidak jelas oleh karena hasil yang tidak dapat diperkirakan dan tegantung pada banyak sedikitnya hasilyang diperoleh.
Ini sangat berbeda dengan orang yang bermata pecaharian pokok berladang atau
berternak (memelihara babi). Orang bekerja dengan mempunyai rencana dan
rancangan kerja sehingga orang dapat memastikan kehidupannya ke depan.
REFERENSI
Bunapa, Andi
Mikael. 1972. Beberapa Aspek Kebudayaan
di Mapia di Irian Barat. Jayapura: ATK.
Goo, Andreas.
2000. Persaingan antara Tonowi dan Ogoi
Tonowi Guna Mendapat Pengaruh di Masyarakat (skripsi).Jayapura: Universitas
Cendrerawasih.
Koentjaraningrat.1993. Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk.
Jakarta: Gramedia.
Mahasiswa
Tingkat II. 1984. Dampak P-5 Terhadap
Kesjahteraan Mayarakat Ekagi, Laporan Penelitian Di Daerah Kamu (Paniai).
Abepura:STTK.
Pekei,
Titus Christ.2008 Manusia Mee Di Papua.Yogyakarta:
Galangpress.
[1] Bdk.Titus Christ Pekei, Manusia Mee Di Papua ( Yogyakarta:
Galangpress, 2008), hal. 25
[2] Secara teori, setiap bertambahnya
ketinggian 100 meter dari permukan laut, suhu udara pun mengalami penurunan rata-rata 0,60oC (Pelajaran Fisika
SMP).
[3] Titus, Op.cit., hal 69.
[4] Tingginya mas kawin ditentukan
oleh keluarga calon pengantin perempuan. Ibid.,
hal 201
[5] Entah perkawinan monogami atau
poligami, perkawinan orang Mee terjadi dalam kerabat mereka sendiri untuk terus
mempetahankan hubungan kekerabatan di antara mereka di dalam suku. Ibid., hal 203.
[6] Andreas Goo, Persaingan antara Tonowi dan Ogoi Tonowi Guna Mendapat Pengaruh di
Masyarakat (skripsi)(Jayapura: Universitas Cendrerawasih, 2000), hal. 12.
[7] Pekey, op.cit., hal. 83.
[8] Dalam aspek sosial, orang Mee
sudah mengenal wujud sosial saling membantu (akadede), saling menolong (akadoo-make). Kebiasaaan membutuhkan jasa orang lain selalu
ada (sifatnya timbal balik). Bdk. Ibid.,85.
[9] Arang, hasil pembakaran ranting
dan daun dijadikan sebagai pupuk di atas ladang yang baru dibuka.
[10] Hasil pengalaman penulis dan
wawancara.
[11] Andi Mikael Bunapa, Beberapa Aspek Kebudayaan di Mapia di Irian
Barat (Jayapura : ATK, Nopember 1972), hal. 5.
[12] Ibid., hal 6.
[13] P-5 adalah adalah singkatan dari
proyek pendidikan, pertanian, perternakan, perkebunan, dan perkoperasian.
Proyek ini dibuat dan didirikan oleh Gereja Katolik yang ditujukan kepada para
lulusan sekolah pertanian lanjutan yang
didirikan pula oleh Gereja Katolik. SPL didirikan di Moenamani di mana para
siswanya terdiri atas pemuda Ekagi sendiri. Sekolah ini didirikan dan proyek
P-5 diadakan dengan satu tujuan yakni merubah cara bekerja (kebun dan ternak) dari
tradisional kepada moderen. Mahasiswa Tingkat II, Dampak P-5 Terhadap Kesjahteraan Mayarakat Ekagi, Laporan Penelitian Di
Daerah Kamu (Paniai) (Abepura:STTk, 1984), hal. 1.
[14] Ibid.,hal. 15.
[15] Hasil wawancara bersama Fr.
Benyamin Keiya. Tgl 1 Maret 2012 di Kampus STFT “Fajar Timur” Abepura.
[16] Pekey, op.cit., hal. 32.
[17].Goo, op.cit., hal.54.
[18] Ibid.
[19]
Hasil wawancara bersama Fr.Fransiskus Uti. Tgl 1 Maret 2012 di Seminari
“Yerusalem Baru”, Abepura.
[20]Eguwai adalah nama totem dari
beberapa klen atau marga seperti Gobay,
Tebay, dll. Hasil wawancara bersama Fr.Fransiskus Uti. Tgl 5 April 2012 di
Seminari “Yerusalem Baru”, Abepura.
[21] Koentjaraningrat, op.cit., hal.247.
[22]
Ibid., hal 248.
sebenarnya artikel ini "ETNOGRAFI"
BalasHapusLuar biasa meningkatkan karya MC New Mee di Papua.
BalasHapus