Minggu, 16 November 2014

SUKU BANGSA MEE - PAPUA



SUKU BANGSA MEE

I.               Latar Belakang
Masyarakat suku Mee yang hidup di Pegunungan Papua kadang diidentikan dengan peternak (babi) dan pekerja kebun yang keras. Kenyataan ini menunjukan bahwa masing-masing keluarga pada umumnya memiliki kebun dan memelihara babi. Dua profesi ini ditemukan dalam setiap pribadi masyarakat suku Mee dan menjadi ciri khas bagi mereka. Banyak waktu yang diluangkan untuk berkebun dan berternak mengindikasikan bahwa dua kegiatan tersebut seakan sangat penting untuk hidup mereka. Jika dua kegiatan tersebut dianggap penting maka tujuan dari dua kegiatan ini sangatlah mendasar dan penting pula. Umumnya, orang berpikir bahwa  tujuan dari suatu pekerjaan  selalu menjurus kepada kebutuhan konsumsi sebagai kebutuhan fundamental manusia. Namun, pikiran tersebut jika dipakai pada masyarakat Mee dan diperhadapkan dengan alam masyarakat Mee yang kaya dan  yang telah menyediakan berbagai kebutuhan konsumsi, maka akan muncul pertanyaan penting seperti, untuk apa orang Mee harus bersusah-susah mengusahakan kebun dan ternak jika tujuannya hanya untuk memenuhi  kebutuhan konsumsi? Mengapa mereka tidak berprofesi sebagai peramu? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu menarik jawaban yang tidak hanya sebatas pada pemenuhan kebutuhan konsumsi melainkan ada juga tujuan yang bagi orang Mee tidak kalah pentingnya dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi.

II.            GAMBARAN UMUM
A.       Lokasi dan Lingkungan alam
1.    Nama Lokasi dan kondisi geografis[1]
Letak daerah yang didiami suku Mee, secara geografis terletak antara 135o -137o Bujur Timur (BT) dan 3o – 4o Lintang Selatan (LS). Daerah ini merupakan daerah pegunungan atau daerah pedalaman dengan diselingi lembah yang dalam. Wilayah suku ini terletak pada ketinggian 1.765 di atas permukaan laut dengan luas wilayah mencapai 855, 64 kilometer persegi. Sedangkan letak kordinat antara 136o12, 02 – 137o 30 Bujur Timur dan 2o30’-4o25’ Bujur Timur.
Wilayah suku Mee berbatasan dengan suku-suku tetangga yakni:
a.       Wilayah timur berbatasan dengan suku Moni, Dauwa, Wolani - kabupaten Paniai dan suku Amungme, Nduga, Damal - kabupaten Mimika.
b.      Wilayah Barat berbatasan dengan suku Meer, Iresim, Wate, Yaur, Moor-Mambor - Kabupaten Nabire dan Kamoro - Kabupaten Mimika.
c.       Wilayah selatan berbatasan dengan suku Kamoro - Kabupaten Mimika.
d.      Wilayah tenggara berbatasan dengan suku Amungme, Damal, Moni - Kabupaten Mimika.
e.       Wilayah utara berbatasan suku Auye dan suku asli lainnya di Kabupaten Waropen.
Suku Mee dikenal dengan beberapa sebutan yaitu orang Kapauku, orang Ekagi, orang Paniai dan orang Mee. Sebutan-sebutan ini secara langsung mengundang orang untuk bertanya tentang banyaknya sebutan atau nama untuk satu suku tersebut. Oleh karena itu, penulis hendak memberikan pemahaman terkait sebutan-sebutan itu.
a.       Nama Kapauku adalah nama yang dipakai oleh suku Komoro untuk menyebut suku Mee. Sesunggunya Kapauku berarti orang di balik gunung.
b.      Nama Ekagi (Ekari) merupakan nama yang yang dipakai oleh suku bangsa Migani (Moni) untuk menyebutkan orang Mee. Sebutan Ekagi dipakai sebagai suatu penghormatan akan orang-orang yng memiliki sifat laki-laki dengan nada sinis.
c.       Nama Paniai merupakan nama yang dipakai oleh pemerintah untuk menyebutkan suatu wilayah kabupaten.
d.      Nama Mee muncul dari dalam suku Mee. Nama Mee erat kaitannya dengan pengetahuan, sikap, ketrampilan dan perbuatan setiap pribadi. Apabila setiap orang mampu mengungkapkan, mewujudkan atau menerapkan pengetahuan melalui sikap, keterampilan maupun perbuatan yang benar, baik dan berguna sesuai standar nilai budaya maka dirinya akan disebut Mee, manusia sejati.

2.    Lingkungan Alam
Di wilayah suku Mee terdapat banyak lembah. Lembah-lembah tersebut adalah lembah Kamu, Debei, Agadide, Obano, Weadide, Weneuwodide, Kegata, lembah Paniai, lembah Tage, Lembah Tigi, dan Okomodie, kecuali daerah Mapia yang meliputi lereng-lereng gunung, perbukitan sampai daerah berhawa panas Topo, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire. Berbagai lembah, gunung, lereng, bukit, danau, dan sungai secara alami telah membentuk daerah dingin dan daerah panas.
Sehubungan dengan itu,  suhu udara[2] di sekitar danau Paniai yakni danau Tigi dan Tage bervariasi antara 10 derajat Celcius – 30 derajat Celcius. Suhu udara pada siang hari berkisar sampai 28 derajat Celcius, sementara pada malam hari kadang suhunya dingin, yakni mencapai 6 derajat Celcius. Di daerah suku Mee, curah hujan yang terjadi rata-rata berkisar antara 1.500 - 4.000 mm/tahun.

B.       Bahasa
Masyarakat Mee memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Mee atau Mee Mana. Mee mana menduduki posisi sangat penting dalam kehidupan suku sebagai sarana pemersatu dan sebagai warisan nenek moyang orang Mee sendiri tanpa memperkenalkan bahasa lain.[3]

C.       Sistem mata pencaharian
Orang Mee sudah mengenal beberapa sumber mata pencaharian hidup dari zaman leluhur. Sumber mata pencaharian menjadi  penopang bagi kehidupan mereka di dalam komunitas. Mata pencaharian sebagai penopang kehidupan akan dilakukan melalui kegiatan seperti berladang atau berkebun, beternak babi, berburu dan menangkap udang atau ikan. Namun dalam kenyataannya, ada pemilahan-pemilahan berdasarkan mata pencaharian yang pokok atau primer dan sampingan atau sekunder. Berkebun atau berladang dan berternak (memelihara babi) merupakan  mata pencaharian pokok dan yang lainnya sebagai pekerjaan sampingan - (selengkapnya dapat dilihat pada bab III tulisan ini).

D.       Organisasi sosial
1.    Perkawinan
Tatacara adat perkawinan suku  Mee diawali dengan suatu penilaian yang dilakukan orang tua atas kedewasaan serta kerajinan anaknya yang akan dinikahkan. Kemudian orang tua kedua belah pihak mulai mengadakan pembicaraan awal, yang disusul dengan lamaran. Pada waktu melamar pihak keluarga pria menyerahkan sejumlah harta dan mas kawin.[4] Mas kawin biasanya dibagi antara kerabat ibu dan ayah calon mempelai wanita. Sesudah menikah, pasangan pengantin Mee menetap secara virilokal. Secara adat, suku Mee mengenal dua sistem perkawinan, yakni perkawinan monogami dan perkawinan poligami.[5] Mereka tidak mengenal perkawinan poliandri.

2.    Kepemimpinan
Telah dipelajari dalam perkuliahan Antropologi Papua II bahwa di seluruh wilayah Papua terdapat empat tipe kepemimpinan, yakni: Tipe kepemimpinan pria berwibawa (big-men), tipe kepemimpinan raja, tipe kepemimpinan kepala klen, dan tipe kepemimpinan campuran. Khusus untuk suku Mee, tipe kepemimpinan yang terdapat di sana  adalah tipe kepemimpinan pria berwibawa (big-men) di mana terdapat empat komponen yang saling berpengaruh, yaitu:[6] Tonowi, yang dimaksud dengan Tonowi adalah orang yang memiliki kemampuan (pengetahuan, keterampilan, sikap, harta) pribadi yang dipergunakannya untuk melayani orang lain dengan tidak terikat pada kekuatan orang lain dalam kekuasaan dan kewibawaannya; Ogai, yang dimaksud adalah orang yang memberi keputusan atau menentukan sikap pribadinya untuk berkompetisi karena telah berpikir atau merefleksikannya; Ogai Tonowi, yang dimaksud adalah orang yang mengambil keputusan dari dirinya sendiri untuk berkompetisi atas kemampuan (pengetahuan, keterampilan, sikap, harta) pribadi dengan mempergunakan kekuasaan dan kewibawaan; Masyarakat, yang dimaksud adalah suku Mee secara umum yang mendapat pengaruh politik dari ketiga komponen di atas.

III.         BERTANI DAN BERTERNAK, KEGIATAN EKONOMI TERPENTING MASYARAKAT SUKU MEE
1.    Bertani
Kata pertanian, oleh orang Mee disebut dengan istilah populer yaitu bugi. Istilah tersebut menunjukkan bahwa sitem pertanian mereka bukanlah berupa sawa-sawahan atau sejenisnya melainkan ladang. Biasanya, orang Mee membuat ladang tepatnya di sekitar lereng perbukitan, lembah, pesisir danau atau pinggiran sungai atau juga tergantung dari tempat tinggal mereka.
Tentu, pertanyaan bagaimana orang bertani, tidak akan terlepas jawabannya dari alat yang digunakan untuk melakukan aktivitas bertani tersebut. Orang Mee sejak zaman dahulu, untuk mengerjakan ladang, alat yang mereka gunakan adalah alat yang sangat sederhana dan tradisional. Sebut saja alat-alat kerja, seperti alat-alat yang terbuat dari batu (maumi, wadi, dan patau) dan kayu. Fungsi mauwi atau kapak batu adalah digunakan untuk menebang pohon yakni ketika sebuah ladang (baru) dibuka;  Wadi berfungsi sebagai linggis atau garpu untuk mencungkil dan  mengeruk tanah; sedangkan, patau berfungsi sebagai skop atau pacul untuk mencangkul dan menggemburkan tanah.
Perubahan yang dialami oleh masyarakat Mee, yakni dengan dialaminya pengaruh dari luar, maka alat-alat pertanian mereka pun ikut berubah. Alat-alat yang digunakan bukan lagi berupa batu atau kayu melainkan berupa besi atau baja sebagaimana yang dikenal oleh masyarakat umum. Perubahan ini merupakan suatu perubahan positif. Ini dikarenakan oleh alat-alat yang terbuat dari besi tersebut sangat mempermudah pekerja, cepat, tidak mudah patah dan mudah diasah bila sudah tumpul. Berbeda dengan alat-alat sebelumnya yang kualitasnya masih belum baik: patau atau wadi tidak bisa diasah kalau sudah tumpul sehingga harus diganti, sementara maumi  bisa di asah namun itu hanya jika masih tetap baik. Pengaruhnya terhadap pekerjaan (jika dibandingkan dengan pekerjaan dengan menggunakan alat-alat besi) yakni pekerjaan menjadi lambat selesainya.
Pekerjaan berladang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dengan pembagian tugas kerja secara jelas.[7] Tugas laki-laki adalah membuka ladang.[8] Pekerjaan yang termasuk dalam penugasan tersebut adalah menebang pohon-pohon besar, memotong dahan-dahan kayu, membersihkan dan membakar sisa-sisa ranting atau daun-daun (yang ditebang tadi) yang sudah dikeringkan.[9] Selanjutnya, laki-laki mengambil dan menjadikan batang-batang kayu yang ditebang tadi sebagai pagar atau pelindung kebun (bugi eda wagi). Tujuan utama membuat pagar (eda) tersebut adalah melindungi ladang dari liarnya binatang yang biasanya masuk dan merusak bugi atau ladang.
Tugas perempuan mungkin hanyalah melanjuti pekerjaan yang telah dilakukan kaum pria. Meskipun hanya melanjuti, namun pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak kalah beratnya dengan pekerjaan yang ditugaskan  kepada kaum pria. Pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah memulai pekerjaan menanam, memelihara tanaman, dan menuai hasil tanaman di ladang tersebut.
Dengan memberikan informasi tentang alat-alat untuk berladang serta pembagian tugas berladang antara laki-laki dan perempuan, secara langsung kita diberikan gambaran tentang bagaimana orang Mee berladang. Cara berladang mereka mungkin tidak berbeda jauh dengan cara berladang pada umumnya. Namun, yang cukup unik dari cara berladang orang Mee adalah dibuatnya pagar setinggi satu sampai dua meter yang mengelilingi ladang (perlindungan tanaman).[10]

2.         Berternak
a.    Berternak Babi – Ekina Muni[11]
Perternakan babi adalah peternakan khas orang Mee. Dikatakan demikian karena perternakan ini lahir sendiri dari tengah-tengah orang Mee tanpa pengaruh dari luar. Pada bagian ini kita akan melihat bagaimana caranya babi dipelihara oleh orang Mee.
Setelah babi sudah beranak biasanya babi tersebut dibiarkan anaknya berjalan bersama induknya selama satu bulan, waktu ini merupakan waktu di mana anak-anak babi tersebut masih liar dan tidak bisa dipegang atau ditangkap. Enam bulan dihitung setelah babi beranak, semua anak babi ditangkap dan dipisahkan dari induknya. Kemudian anak-anak babi tersebut dibagikan kepada orang-orang untuk memeliharanya, biasanya diberikan kepada perempuan-perempuan untuk memeliharanya. Anak babi akan diberi nota yang sudah dimasak. Menjelang malam hari, anak babi dimasukan ke dalam rumah. Ketika anak babi sudah besar, ia dikembalikan kepada pemilik asal, atau dibawa ke tempat-tempat yang berawa, agar anak-anak babi belajar membolak-balikan tanah. Pada sore hari babi tersebut dibawa pulang ke rumah. Ketika sudah menjadi babi dewasa babi dilepaskan untuk mencari makan sendiri di tengah hutan atau di rerumputan. Ketika matahari mulai terbenam, babi-babi dipanggil pulang kemudian dibawa pulang. Babi-babi tersebut biasanya tinggal di bawah kolong rumah atau kandang khusus yang dibuat di samping rumah. Babi-babi memperoleh makan dari prmilik babi dua kali sehari, yaitu pagi dan sore.
Begitu besar perhatian seorang perempuan terhadap anak babi, sehingga seakan-akan ia menjadi ibu yang menggantikan induknya. Tampak, untuk menjinakan anak babi, anak babi tersebut diisi dalam sebuah noken khusus dan dibawa ke mana saja mereka pergi.

b.   Berternak Hewan lain.
Dilaporkan oleh Andy Mikael Bunapa, bahwa kesulitan daerah menyebabkan perternakan secara besar-besaran tidak terdapat di Mapia atau Paniai. Ada pula ternak Ayam, itik tetapi itu disebabkan oleh pengaruh luar.[12] Sehingga kemungkinan adanya ternak atau perternakan hewan lain selain babi merupakan suatu hasil pengaruh yang di bawah masuk oleh orang luar.
Tampak, dalam lingkungan masyarakat Mee, terdapat ternak-ternak tertentu seperti sapi, ayam, dll yang diternakkan oleh masyarakat asli sendiri. Tentunya itu bukanlah asli hasil usaha sendiri orang Mee, melainkan adanya piak-pihak luar tertentu yang memberikan pengaruh. Yayasan P-5  yang didirikan oleh Gereja Katolik Lokal  di Moenamani yang bergerak di bidang ekonomi, pendidikan yang bersifat informal adalah salah satu pihak yang memiliki peran dalam pengaruh tersebut.[13] Yayasan ini memberikan dan membuka kesempatan bagi orang Mee untuk berternak hewan lain seperti bebek, ayam, kelinci, sapi, angsa dan kuda. 
Terkait dengan cara memelihara atau berternak hewan lain, bagi orang Mee oleh Yayasan P-5 disediakan Sekolah Pertanian Lanjutan (SPL). Sekolah ini mempersiapkan para siswa yang adalah orang Mee asli untuk mengusahakan usaha taninya, termasuk di dalamnya bagaimana cara berternak. Hasil penelitian mahasiswa tingkat II STTK tahun 1984 tidak menguraikan secara langsung bagaimana orang Mee atau para lulusan SPL berternak hewan lain melainkan mereka hanya melaporkan bagaimana hasil yang diperoleh dari pengaruh masuknya Yayasan P-5. Mereka menggolongkan hasil perternakan para lulusan SPL ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok yang hasilnya baik, sedang dan jelek. Ini menunjukkan baik buruk hasil perternakan sangat besar dipengaruhi oleh kemauan orang untuk berternak. Di SPL sudah diberikan cara-cara berternak. Sehingga selanjutnya bagaimana cara-cara tersebut digunakan dalam prakteknya. [14]
Selain dari pihak Gereja, ada pula program dari pemerintah dengan memberikan beberapa jenis ternak: angsa, kambing dan domba bagi orang Mee. Namun, ternak tersebut diberi saja tanpa memberi pembekalan (cara memelihara ternak) kepada masyarakat. Masyarakat yang memperoleh bibit ternak tersebut akan memeliharanya dengan cara yang sesuai dengan kemampuan pribadinya.

3.         Bertani dan berternak sebagai kegiatan ekonomi yang mendasari kehidupan orang Mee
a.    Kebutuhan konsumsi (makan) bergantung pada hasil kebun
Pada lahan ladang yang telah disediakan, orang Mee menanam berbagai macam tanaman seperti tanaman ubi jalar, sayur-mayur, pisang, tebu, kacang dan beberapa jenis tanaman buah yakni markisah, terong (pengaruh luar). Tanaman ubi dikenal dalam berbagai macam varietas ubi jalar: Petatas atau ubi jalar (nota), keladi (nomo), dan talas (dee). Tanaman sayur pun terdiri dari beberapa macam: Sayur ganemo (dade), sayur hitam (digiyo napo atau uguba), sayur bayam (idaiya).
Tanaman-tanaman tersebut dipelihara dan dijaga dengan baik oleh mereka. Pembuatan pagar yang mengelilingi kebun adalah bentuk dari perlindungan kebun dari serangan binatang-binatang, tugas merawat tanaman  hingga waktu menuai oleh perempuan  dan proses pembuatan dan pemeliharaan kebun adalah suatu keharusan. Semua yang dilakukan punya tujuan yang sangat mendasar yakni mengusahakan dan dapat memperoleh hasil yang baik. Karena jika tidak memperoleh hasil yang baik atau buruk maka konsekuensinya pada kehidupan sangatlah besar.
Orang Mee memiliki kebiasaan mengambil atau memanen sedikit demi sedikit hasil kebun dan tidak memanen seluruhnya.[15]  Mereka memiliki perhitungan “makan hari ini” dan meninggalkan stok makan untuk besok dan seterusnya. Pengaturan konsumsi atau kebutuhan makan dengan mudah dilakukan. Namun, hal itu mengandaikan jika hasil kebunnya baik. Perlu diketahui pula bahwa sebelum membuka kebun orang Mee sudah membuat target untuk berapa lama hasil dari kebun yang akan dibuka ini dapat menghidupi mereka, sehingga ukuran kebun pun, tanamannya disesuaikan. Jika tidak memperoleh hasil yang baik maka mereka akan kewalahan untuk mengatur konsumsi mereka. Mereka dapat mengambil seluruh hasil kebun dalam sekali panen dan tidak meninggalkan stoknya.
Kebun atau ladang menjadi tempat bergantungnya kehidupan dan sumber pangan orang Mee erat kaitannya dengan  mata pencaharian pokok mereka. Mata pencaharian pokok mereka adalah bercocok tanam. Satu-satunya mata pencaharian yang dapat menghidupi mereka adalah berkebun sehingga wajarlah ada istilah yang berkembang di lingkungan orang Mee, yakni “tidak ada kebun maka tidak makan”. Namun pada umumnya mereka semua memiliki kebun dengan hasil yang baik.

b.   Fungsi kebun bagi keberlangsungan perternakan
Selain bermanfaat untuk kebutuhan konsumsi atau makan manusia, kebun juga punya manfaaat yang sangat penting khususnya dalam bidang perternakan. Kebun yang dibuat oleh orang Mee biasanya ditanami dengan tanaman ubi. Tanaman ubi dikenal. Mereka menanam beberapa jenis ubi jalar sesuai kebutuhan konsumsi. Hasil kebun memiliki dua manfaat yang penting, pertama, bermanfaat bagi kebutuhan konsumsi atau makan manusia, dan kedua, bermanfaat bagi keberlangsungan hewan ternak. 


4.         Bertani dan berternak adalah kegiatan yang penting dalam kehidupan orang Mee
a.    Memiliki banyak ternak dan kebun sebagai tujuan politik
Kehidupan orang Mee sangat menyatu dengan kebun dan perternakan babi. Dengan adanya kebun yang siap menghasilkan ubi, baik manusia maupun ternak dapat menikmati hasil kebun tersebut. Selain itu, kebun dan ternak memiliki arti dalam aspek politik mereka. Di kalngan masyarakat Mee, ternak babi mempunyai peran penting. Babi bukan hanya merupakan sumber protein bagi mereka melainkan juga merupakan sumber yang paling mendasar untuk memperkokoh kekayaan dan prestise.
Memiliki banyak babi dapat menghantar seseorang untuk sampai ke tangga hierarki kekuasaan politik dan hukum Adat dalam budayanya. Untuk mencapai posisi tersebut, mula-mula orang membuka kebun dan memperbanyak kebun dengan menanam nota seperti telah dijelaskan di atas. Kemudian orang membeli anak atau menghutang babi betina dari kenalan atau saudara-saudara atau sahabat-sahabat. Anak babi tersebut harus dipelihara dan dijaga dengan tekun hingga babi berkembang menjadi banyak. Apabila seseorang sudah memiliki jumlah ternak babi dalam jumlah yang banyak, maka ia akan memperoleh banyak uang mege. Selnjutnya, ia akan mampu mengembangkan kegiatan usahanya dan dapat membantu orang lain yang mengalami kesukaran.
Banyak uang atau mege yang diberikan dengan ikhlas (tujuan membantu) kepada orang lain menghantar orang tersebut ( si pemberi bantuan) untuk  meningkatkan prestisenya di mata orang lain dan karenanya  status sosial dan status politiknya ditingkatkan dalam masyarakat. Dengan cara ini seseorang akan diakui sebagai tonowi atau orang kaya. Orang Mee selalu mengejar suatu tingkat kehormatan dari komunitasnya melalui tindakan-tindakan konkrit untuk mencapai tonowi.[16]

c.    Pentingnya babi dalam hubungan sosial dan ekonomi
Babi selain sebagai tujuan politik, babi juga memiliki peran penting dalam hubungan sosial-ekonomi orang Mee. Dalam hal ini, babi memiliki fungsi yang amat  penting  untuk kepentingan perkawinan, yakni dijadikan sebagai mas kawin. Babi pun sebagai latar belakang adanya pesta yuwo yang merupakan satu-satunya pesta budaya bagi orang Mee.
·      Babi sebagai mas kawin
Dalam perkawinan orang Mee, perkawinan yang paling ideal adalah perkawinan yang mendapat persetujuan orang tua. Jika telah ada persetujuan pada masing-masing pihak pria dan wanita dan di antara kedua bela pihak maka proses selanjutnya adalah pembayaran mas kawin sesuai ketentuan pihak gadis. Besarnya mas kawin untuk suku Mee berkisar antara lima ratus ribu rupiah sampai lima juta rupiah.[17]  Rupiah adalah alat bayar resmi, uang kerang tidak digunakan lagi.
Dalam pokok ini yang menjadi titik pembahasan adalah babi sebagai mas kawin. Babi sebagai mas kawin terjadi pada keadaan tertentu  saja. Keadaan tertentu yang dimaksudkan adalah keadaan di mana anak gadis hamil tanpa sepengetahuan orang tua, atau anak gadis terpaksa kawin dengan pria yang tidak dikehendaki orang tua, atau juga babi dijadikan sebagai mas kawin ketika sebelum kawin pihak wanita sudah mendengar kata-kata sinis dari kerabat pria. Jadi, babi digunakan sebagai alat pembayar (ganti rugi) atas ketiga alasan di atas.[18]
Hal lain yang perlu diketahui bahwa babi digunakan sebagai mas kawin bukan berarti hanya dengan babi urusan pria dalam perkawinannya selesai. Sebagaimana babi dijadikan sebagai mas kawin karena alasan-alasan di atas, maka dalam perkawinan, babi hanya digunakan untuk mengganti kesalahan yang telah dibuat. Selanjutnya masih ada uang yang harus disertakan dengan babi tersebut.[19] Uang harus disertakan karena uang sebagai standar mas kawin seperti dalam perkawinan biasanya (perkawinan tanpa kesalahan).
·      Babi dalam Pesta yuwo
Kekhasan dari  pesta yuwo adalah babi. Begitu banyak babi akan dipanah saat itu.  Oleh karena itulah, maka pesta yuwo biasanya lebih populer disebut dengan  pesta babi. Pesta tersebut telah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya (beberapa tahun) dan akan melibatkan banyak orang. Pada saat hari di mana pesta tersebut diselenggarakan, telah ada banyak babi yang jumlahnya mencapai ratusan ekor yang siap untuk dipanah atau disembelih. Pesta akan dihadiri oleh banyak orang dari berbagai kampung yang datang dengan membawa megenya dan akan ikut dalam transaksi penjualan dan pembelian babi. Semakin banyak tamu, semakin laku penjualan babi dalam pesta tersebut.
Melalui pesta babi tersebut, bukan saja transaksi penjualan dan pembelian babi terjadi, namun ada pula hal lain yang dilakukan dan dihasilkan. Orang mengggunakan kesempatan tersebut untuk memperdagangkan hasil kebunnya, kerajinan tangan dan sebagainya. Lebih jauh dari itu, ada satu hal yang sangat penting terjadi, yakni sejumlah orang memperkukuh, mempererat hubungn lama dan baru antartamu. Atau pun pesta yuwo menjadi saat yang cocok untuk memperbaiki hubungan yang sempat rusak. Sehingga di sana, tejadi suasana mengampuni. Tak kalah menariknya juga, orang menggunakan pesta tersebut untuk membahas masalah-masalah besar, mendiskusikan dan memecahkannya. Hal ini yang membuat pesta yuwo selalu diakhiri dengan damai.
Uraian di atas mungkin menjadi alasan mengapa penulis berani mengatakan bahwa babi memiliki peran penting dalam hubungan sosial-ekonomi orang Mee. Babi yang menjadi alasan awal dan mendasar dari penyelenggaraan pesta yuwo mengundang orang untuk melakukan hal-hal yang lebih penting dari sebatas menjual dan membeli babi. Dari segi ekonomi, orang akan memperoleh mege yang banyak (penjual babi) atau babi yang banyak (pembeli) dari pesta tersebut; dengan alasan pesta babi, orang turut menjual hasil kebun dan kerajinan tangannya. Dari segi sosial, hubungan orang dipererat dan diperkukuh, diperbaiki jika selama itu rusak. Semua itu terjadi karena babi.

5.         Mata pencaharian lain
a.    Mata pencaharian lain sebagai pekerjaan sampingan
Berladang atau berkebun adalah mata pencaharian pokok. Adapun mata pencaharian lain yang dijadikan orang Mee sebagai mata pencaharian sampingan, misalnya:
ü Berburu (woda ubai)
Kegiatan berburu adalah kegiatan yang diwarisi dari leluhur dan dilakukan hanya khusus oleh kaum pria. Berburu merupakan kegiatan sampingan di mana dilakukan pada malam hari. Binatang-binatang yang menjadi sasaran buruan mereka adalah kus-kus (yaa, woda), tikus tanah (kedei), dan jenis-jenis binatang liar seperti babi hutan, kangguru, babi, burung kasuari, burung mambruk, burung maleo (ayam hutan) dan jenis-jenis binatang langka lain. Kecuali babi bule, yang dianggap keramat oleh orang Mee karena menurut mitologi mereka, babi bule diciptakan oleh Eguwai[20]  bersama-sama dengan manusia pertama.[21]Dalam berburu biasanya diikutsertakan juga anjing piaraan yang sudah dilatih khusus untuk hal berburu dengan insting ciuman yang tajam dan memberi rangsangan kepada orang yang berburu.
Dalam berburu atau woda ubai alat yang digunakan selalu adalah busur (uka) dan panah (mapega) serta juga dengan cara memasang jerat (boke mainai). Berburu dengan cara membuat jerat biasanya melalui proses demikian: pada siang hari orang mencari sarang binatang untuk memasang jerat; jerat dipasang dan ditinggalkan; baru besok jerat tersebut dilihat apakah sudah mengenai binatang sasaran. Orang Mee biasanya juga menggunakan ilmu gaib yang dengannya diharapkan dapat memanggil dan menangkap binatang.[22]
Berburu sebagai pekerjaan sampingan oleh penduduk suku mee, tidak menutup kemeungkinan akan mendatangkan pendapatan pribadi atau pendapatan keluarga cukup besar. Hasil buruan tersebut akan dikonsumsi atau sebagiannya dijual dan dibagi kepada keluarga tetangga.
ü Menangkap dan mencari udang
Pada point lokasi alam, diinformasikan bahwa di wilayah suku Mee terdapat tiga danau besar yakni danau Tigi, Tage dan Paniai. Danau-danau tersebutlah yang menjadikan mereka juga bermata pencaharian sampingan sebagai pencari udang dan penangkap ikan.
Muncul dengan sendirinya kelompok pencari udang di kalangan ibu-ibu karena kebiasaan mereka yang senang menangkap udang dan itu dilakukan bersama-sama. Cara mencari udang bagi mereka di sekitar danau, pinggir sungai atau kali atau telaga terbentuk secara alami. Pada malam hari mereka melihat atau mencari tempat-tempat di mana terdapat udang (udepa umi, geni miyo) sementara pada siang hari mereka mulai menangkapnya (udi kena). Dalam mencari dan menangkap ikan, mereka menggunakan jala (ebai). Ebai terbuat dari tali kulit kayu (gaa) dan tali rumput (ikiya). Kulit kayu dan tali rumput akan dipintal secara rapi dan dianyam sesuai kesukaan ibu-ibu dengan bentuk umumnya bulat lonjong.
Dikatakan mencari dan menangkap udang sebagai pekerjaan sampingan dikarenakan oleh alasan bahwa tempat tinggal kebetulan terletak dekat dengan danau atau tempat mencari udang tersebut. Mereka hanya sebentar saja meluangkanwaktu untuk mencari dan menangkap udang sedangkan banyak waktu digunakan untuk berada di ladang dan memelihara babi.

b.   Mata pencaharian lain tidak menjamin kehidupan
Mata pencaharian lain yakni mata pencaaharian selain berladang dan memlihara babi dikatakan tidak menjamin kehidupan karena adanya  alasan:
Mata pencaharian lain tidak selamanya memberikan hasil yang baik. Berburu dan mencari udang terkadang memberikan hasil yang banyak, dan terkadang sedikit atau juga terkadang tidak memperoleh apa-apa. Jika hasilnya tidak menetap dan berubah-ubah sangat sulit bagi orang untuk mengatur kehidupannya: konsumsinya, kebutuan lainnya. Orang tidak punya rencana ke depan karena semuanya serba tidak jelas oleh karena hasil yang tidak dapat diperkirakan dan tegantung  pada banyak sedikitnya hasilyang diperoleh. Ini sangat berbeda dengan orang yang bermata pecaharian pokok berladang atau berternak (memelihara babi). Orang bekerja dengan mempunyai rencana dan rancangan kerja sehingga orang dapat memastikan kehidupannya ke depan.

REFERENSI
Bunapa, Andi Mikael. 1972. Beberapa Aspek Kebudayaan di Mapia di Irian Barat. Jayapura: ATK.

Goo, Andreas. 2000. Persaingan antara Tonowi dan Ogoi Tonowi Guna Mendapat Pengaruh di Masyarakat (skripsi).Jayapura: Universitas Cendrerawasih.


Koentjaraningrat.1993. Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Jakarta: Gramedia.
Mahasiswa Tingkat II. 1984. Dampak P-5 Terhadap Kesjahteraan Mayarakat Ekagi, Laporan Penelitian Di Daerah Kamu (Paniai). Abepura:STTK.

Pekei, Titus Christ.2008 Manusia Mee Di Papua.Yogyakarta: Galangpress.



[1] Bdk.Titus Christ Pekei, Manusia Mee Di Papua ( Yogyakarta: Galangpress, 2008), hal. 25
[2] Secara teori, setiap bertambahnya ketinggian 100 meter dari permukan laut, suhu udara pun mengalami  penurunan rata-rata 0,60oC (Pelajaran Fisika SMP).
[3] Titus, Op.cit., hal 69.
[4] Tingginya mas kawin ditentukan oleh keluarga calon pengantin perempuan. Ibid., hal 201
[5] Entah perkawinan monogami atau poligami, perkawinan orang Mee terjadi dalam kerabat mereka sendiri untuk terus mempetahankan hubungan kekerabatan di antara mereka di dalam suku. Ibid., hal 203.
[6] Andreas Goo, Persaingan antara Tonowi dan Ogoi Tonowi Guna Mendapat Pengaruh di Masyarakat (skripsi)(Jayapura: Universitas Cendrerawasih, 2000), hal. 12.
[7] Pekey, op.cit., hal. 83.
[8] Dalam aspek sosial, orang Mee sudah mengenal wujud sosial saling membantu (akadede), saling menolong (akadoo-make).  Kebiasaaan membutuhkan jasa orang lain selalu ada (sifatnya timbal balik). Bdk. Ibid.,85.
[9] Arang, hasil pembakaran ranting dan daun dijadikan sebagai pupuk di atas ladang yang baru dibuka.
[10] Hasil pengalaman penulis dan wawancara.
[11] Andi Mikael Bunapa, Beberapa Aspek Kebudayaan di Mapia di Irian Barat (Jayapura : ATK, Nopember 1972), hal. 5.
[12] Ibid., hal 6.
[13] P-5 adalah adalah singkatan dari proyek pendidikan, pertanian, perternakan, perkebunan, dan perkoperasian. Proyek ini dibuat dan didirikan oleh Gereja Katolik yang ditujukan kepada para lulusan  sekolah pertanian lanjutan yang didirikan pula oleh Gereja Katolik. SPL didirikan di Moenamani di mana para siswanya terdiri atas pemuda Ekagi sendiri. Sekolah ini didirikan dan proyek P-5 diadakan dengan satu tujuan yakni merubah cara bekerja (kebun dan ternak) dari tradisional kepada moderen. Mahasiswa Tingkat II, Dampak P-5 Terhadap Kesjahteraan Mayarakat Ekagi, Laporan Penelitian Di Daerah Kamu (Paniai) (Abepura:STTk, 1984), hal. 1.
[14] Ibid.,hal. 15.
[15] Hasil wawancara bersama Fr. Benyamin Keiya. Tgl 1 Maret 2012 di Kampus STFT “Fajar Timur” Abepura.
[16] Pekey, op.cit., hal. 32.
[17].Goo, op.cit., hal.54.
[18] Ibid.
[19]  Hasil wawancara bersama Fr.Fransiskus Uti. Tgl 1 Maret 2012 di Seminari “Yerusalem Baru”, Abepura.
[20]Eguwai adalah nama totem dari beberapa klen atau  marga seperti Gobay, Tebay, dll. Hasil wawancara bersama Fr.Fransiskus Uti. Tgl 5 April 2012 di Seminari “Yerusalem Baru”, Abepura.
[21] Koentjaraningrat, op.cit., hal.247.
[22]  Ibid., hal 248.

2 komentar: