SUKU BANGSA NDUGA
I.
PENDAHULUAN
Suku
Nduga adalah sebuah suku yang mendiami daerah pegunungan Tengah Papua. Suku
Nduga merupakan suku kecil yang berada di bawah suku Dani. Mereka baru dikenal
ketika ada pemekaran kabupaten dan seiring berjalannya OTSUS. Mereka tidak
terlalu dikenal oleh suku bangsa lain dan bahkan literatur mengenai mereka pun
hampir jarang ditemukan. Kawasan suku Nduga yang berada di sebelah utara
didiami oleh suku Dani Barat dan sebelah selatan didiami oleh suku Asmat.
Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan suku Damal. Suku Nduga termasuk
petani ladang, di mana mereka hidup dari umbi-umbian, keladi, singkong, dll.
Selain itu, mereka dikenal sebagai peternak babi. Mereka hidup di sekitar
Mapndum, Tangma, Sinak, Ilaga, Beoga, dan Hitadipa.
Menurut
pembagian wilayah pemerintahan, daerah Nduga yang berada dalam kawasan Lorentz
termasuk pada kecamatan Tiom, yang dahulunya masih termasuk dalam wilayah
Kabupaten Jayawijaya dan sekarang sudah menjadi kabupaten sendiri, yaitu
kabupaten Ndugama. Masyarakat Nduga mengelompokan diri ke dalam dua kelompok
suku yakni: Kelompok suku Nduga yang berdiam di daerah panas seperti di
Mapnduma, peretngahan Mbuah hingga Kora-Bawah; Wusak-Bawah; Kenyem; Geslema;
Wandut; dan Airalma. Dan kelompok suku Nduga yang berdiam di daerah-daerah
dingin seperti di Yigi, Mbuwa-Atas, Iniye, Wusak-Atas dan Kora-Atas.
II.
SUKU
NDUGA
2.1.
Lokasi,
Lingkungan Alam dan Demografi
Lokasi kebudayaan Nduga
dan struktur sosial suku ini dipusatkan pada daerah-daerah Kurigi dan
Nirigimbrik (tempat-tempat ini diberi nama oleh masyarakat Nduga menurut nama
kampung di mana dibangun gedung gereja, misalnya wilayah Kurigi meliputi
kampung Putndumu, Nalwangge, Dondokloma, Mberik, dan Wiletti). Kurigi terletak
kurang lebih 2775 m. di atas permukaan laut. Kurigi dan Nirigimbrik termasuk
dalam kelompok suku Nduga yang hidup di daerah dingin yaitu di daerah Yigi.
Batas-batas wilayah Kurigi ialah sungai Kurigi di sebelah selatan, Sungai Ara
di sebelah utara, Sungai Yigi di sebelah timur, dan Mugi di sebelah barat.
Batas-batas wilayah Nirigmbrik adalah Sungai Yigi di sebelah utara, Gunung
Sokme di sebelah selatan, Kampung Mbrigenma di sebelah barat, dan Sungai Yigi
di sebelah Timur. Sedangkan secara demografis, populasi suku Nduga
pada tahun 1990 adalah sekitar 1.500 jiwa. 70% penduduk adalah anak-anak, dan
dari jumlah yang ada, 44% di antaranya adalah laki-laki serta 28% wanita.
2.2.
Sejarah
Asal-usul
Nduga
adalah salah satu suku asli Papua. Suku Nduga bermukim di seluruh lokasi Taman
Nasional/Internasional Lorenz dan hidup di tengah-tengah beberapa suku kerabat
yaitu; Dani, Amungme, Moni, dan Damal. Suku Nduga dapat menggunakan beberapa
bahasa daerah dan menggunakan istilah yang menunjukkan bahwa Suku Nduga dapat
berbahasa suku lain yaitu, Lani-Nduga istilah yang digunakan bagi suku Nduga
yang dapat berbahasa suku Dani. Amung-Tau yaitu istilah yang digunakan untuk
masyarakat suku Nduga yang dapat menggunakan dua bahasa yaitu bahasa suku
Amungme dan bahasa Nduga sendiri. Istilah selanjutnya yaitu Nduga-Loremeye
yaitu orang Nduga yang dapat menggunakan bahasa Suku Moni.
Sehubungan
dengan hal tersebut, maka ada beberapa istilah yang sering digunakan yaitu ada
Nduga Nayak yaitu mereka yang dapat berbahasa Dani Lembah (Wamena
Lembah). Suku Nduga menyebar hampir di beberapa kabupaten yaitu Wamena,
Timika, Jayapura, Nabire dan Asmat. Wilayah Suku Nduga baru dimekarkan menjadi
satu kabupaten pemekaran yaitu Kabupaten Ndugama yang artinya kabupaten yang
berdiri di tengah wilayah/rumah orang Nduga. Masyarakat Nduga
yakin bahwa nenek moyang mereka berasal dari Seinma. Seinma ialah sebuah
kampung di Kecamatan Kurima. Orang Dani dan beberapa orang Yali serta orang
Hupla pun percaya bahwa mereka berasal dari Seinma.
Ada sebuah cerita yang dikisahkan oleh Yikok Ubruangge, dari suku Nduga sendiri
yang berdiam di Mapnduama. “Ada suatu
tempat di hutan, di daerah Piri, dekat dengan Puncak Trikora di mana para
moyang berkumpul untuk berdiskusi. Sementara yang lainnya berdiskusi, satu
kelompok diantaranya meninggalkan mereka, dan kelompok itu akhirnya menjadi
suku Asmat, yakni suku yang hidup dekat pesisir pantai. Kelompok lainnya pergi
dan beristrahat di Munggilbak. Kemudian dari pada itu ada yang mencari daerah
yang rumput seperti Nduga, ada pula yang mencari daerah dataran misalnya orang
Baliem. Ada pula yang menyusuri sungai dan bermukim di Iniye, Wusak, Mbuwa,
Yigi, Gula dan Yuguru. Masyarakat Nduga yang berdiam di Mapnduma adalah
kelompok yang menyusuri Sungai Gul”.
2.3.
Bahasa
Bahasa Nduga dapat diklasifikasikan
sebagai bahasa Papua, fillum Trans New Guinea, Stock Dani-Kwerba, Divisi
Selatan; Famili Dani besar; Sub family Ngalik-Nduga (Wurm-Hattori). Beberapa
istilah dalam bahasa Nduga sama dengan istilah-istilah yang terdapat dalam
bahasa Dani dan Yali (Suku Dani dan Suku Yali merupakan dua rumpun suku-bangsa
yang berdiam berdiam di pegunungan tengah Papua). Sebagai contoh an, berarti “saya”, sama kata dan
artinya pada bahasa Dani, Lani, dan Yali. Hal yang sama berlaku pula untuk
perkataan wam yang berarti “babi”
kata wa dipakai untuk memberi salam, ap yang berarti ‘laki-laki’ dan
seterusnya.
Suku Nduga dapat menggunakan beberapa
bahasa dan istilah yang terdapat di daerah sekitarnya. Lani-Nduga merupakan
istilah yang digunakan bagi suku Nduga yang dapat berbahasa suku Dani.
Amung-Tau yaitu istilah yang digunakan bagi suku Nduga yang dapat menggunakan
dua bahasa yaitu bahasa suku Amungme dan bahasa Nduga sendiri. Istilah
selanjutnya yaitu Nduga-Loremeye yaitu orang Nduga yang dapat menggunakan
bahasa Suku Moni. Selain itu, ada
beberapa istilah yang sering digunakan oleh mereka yakni Nduga-Nayak merupakan
istilah bagi mereka yang dapat berbahasa
Dani Lembah (Wamena Lembah).
2.4.
Sistem
Teknologi
Sistem teknologi dalam masyarakat suku
Nduga tidak dapat dipaparkan secara jelas dan terperinci karena keterbatasan leteratur
mengenai suku Nduga sendiri. Sebagai gambaran umum bahwa suku Nduga kurang
lebih memiliki ciri-ciri sistem teknologi yang sama dengan suku tetangganya
yaitu suku Lani dan Dani. Pada kebanyakan suku yang mendiami bagian pengunungan
tengah termasuk suku Nduga sendiri biasanya menggunakan kapak batu untuk
menebang pohon dalam rangka membuka lahan, membuat rumah, pagar, panah, tombak,
busur dan memotong tali-tali yang berukurang besar. Setelah berkembangnya
alat-alat teknologi modern maka mereka mengenal pisau, parang, kapak dan
cangkul yang terbuat dari besi atau baja. Hal ini telah memudahkan mereka dalam
bercocok tanam.
2.5.
Mata
Pencaharian
Masyarakat suku Nduga dikenal sebagai
petani ladang dan pemelihara babi. Tanaman dan subsistensi amat nampak dari
pola hidup mereka yang menyandarkan
hidupnya pada umbi-umbian, keladi, tebu, pisang, sayur-mayur, dan lain-lain.
Selain itu, subsistensi dan adaptasi turut mewarnai kehidupan mereka di mana
nampak ketergantungan pada hewan mamalia dan unggas sebagai pelengkap gizi.
Masyarakat Nduga yang berada di Kurigi pada
umumnya memiliki ladang yang berupa ladang lereng (yabu leberakma). Jenis ladang lainnya ialah ladang halaman dan
ladang di daerah datar (yabu bibirikmu).
Dalam ladang-ladang itu, baik yang di lereng maupun di tanah datar, biasanya ditanami ubi dan keladi. Pada ladang
lereng biasanya ditanami tebu (el),
buncis, pisang (kwari), ketimun (buki), sayur lilin (wiye), dan sebagainya.
Inilah beberapa tahapan pada kebun-kebun
ubi orang Nduga. Kebun tua disebutnya yabusik.
Pada lahan ini umumnya ditumbuhi rumput-rumput tinggi serta pohon-pohonan.
Sebuah kebun baru segera akan dibuka apabila lapisan daun yang jatuh telah
menebal dan tanah bertambah. Untuk membuka ladang baru mereka perlu mengetahui
apakah lokasi kebun baru itu berada di dalam atau di luar areal babi, sehingga
perlu dibuatkan pagar dan menebang pohon. Pekerjaan ini disebut yabu elerak. Kayu-kayu dan berbagai
bahan lainnya yang telah dibakar habis di kebun disebut yabu
tirika pago.
Selain berkebun atau berladang, orang
Nduga juga berburu sebagai salah satu mata pencarian. Mereka berburu unggas dan
kuskus (mena). Tidak hanya orang tua yang
melakukan pekerjaan ini, namun anak-anak sekolah turut mengikuti pekerjaan
tersebut. Banyak murid yang pergi ke sekeolah sambil membawa busur dan anak
panah untuk berburuh ketika pulang
sekolah. Mereka sering kali berburu pada daerah-daerah panas, misalnya Keryam,
Geselema, dan Wandud. Mereka juga memburu kasuari (saro), kanguru pohon (menaje),
dan babi (wam). Mereka berburuh
dengan berbagai jenis anak panah. Untuk berburu unggas, terdapat dua jenis anak
panah yang disebut kasoga untuk
burung yang sedang terbang dekat/rendah, dan idmare yaitu untuk menembak burung yang terbang jauh. Untuk kuskus
dan babi, mereka mengunakan anak panah yang disebutnya mingin.
Selain mengunakan panah, mereka juga
mengunakan jerat untuk brburu. Ada tiga macam jerat untuk menjerat burung. Nggopngenma jerat untuk burung namdur,
jerat ini dipasang didekat buah yang disukai oleh burung itu, yakni buah atnggoop bila pada musim buah-buahan. Yuburumu ialah jerat yang dipasang pada
batang-batang kayu yeng terdapat di genangan air dan biasanya digunakan oleh
burung untuk mandi; sedangkan jerat yang dinamakan nowoma ialah jerat yang dipasang pada lereng gunung tempat dimana
burung biasa datang ke sana untuk minum. Sedangkan jerat untuk menangkap hewan
mamalia terdiri dari sapma, yaitu
jerat yang dipasang di hutan di atas tanah. Kiigare,
jerat ini dipasang di dalam kampung; dan kere yaitu jerat yang dipasang pada pohon-pohon di dalam hutan.
Penangkapan kuskus dengan mengunakan jerat umumnya dilakukan pada musim buah
pandan (buah merah).
Babi adalah hewan yang bermanfaat bagi
masyarakat Nduga, dimana babi bernilai tinggi di kalangan budaya mereka. Babi
digunakan antara lain untuk mas kawin dan pembayaran-pembayaran denda atau
karena sebab-sebab perang. Babi biasaanya hidup bersama manusia di dalam rumah
dan diperlakukan sebagai bagian dari keluarga. Babi menjadi lambang kemakmuran
dan prestise. Babi memiliki berbagai nama menurut tingkat usianya. Secara umum
babi dinamakan wam. Anak babi disebut
wamenep. Jika anak babi telah berusia
satu bulan diberi nama owaktaro. Babi
berusia lebih dari satu bulan disebut wam
idewarak.
2.6.
Organisasi
Sosial
Organisasi sosial pada masyarakat Nduga
terdiri dari kesatuan-kesatuan keluarga, kampung, kekerabatan serta aliansi.
Satu keluarga terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Diantara suami dan
isteri terdapat kebun, daerah perburuan dan lahan pandan (pandanus) yang
dimiliki secara perorangan. Mereka bersama-sama membuka kebun, menanam buah pandan
dan memelihara babi. Setiap keluarga mempunyai sebuah rumah yang diperuntukan
untuk sang ibu, ayah, nenek, dan kakek, di mana mereka berkumpul untuk makan
bersama. Rumah itu dijaga dan dihuni oleh kaum lelaki.
Setiap daerah penghunian terdiri dari
satu atau dua rumah laki-laki dan beberapa rumah perempuan. Jika diantara
mereka yang tidak memiliki rumah baik laki-laki maupun perempuan maka bisa
tidur di kampung tetangga, misalnya di kampung Mbrik, dimana kaum lelakinya
pergi ke rumah lelaki di kampung Putndum. Orang yang berdiam di suatu kampung
bisa saja terdiri dari satu marga, misalnya marga Gwijangge yang hidup di
kampung Kurigi. Tetapi kadang-kadang terdapat pula berbagai marga berkumpul
membentuk suatu kampung. Mereka bekerja secara bergotong-royong dalam membangun
rumah-rumah kaum lelaki maupun kaum perempuan, membangun pagar untuk babi dan
membuat jalan-jalan setapak. Mereka juga membagikan buah-buah pandan, babi, dan
sebagainya pada kerabat. Merekapun dapat memasak bersama-sama, misalnya kaum
lelaki membunuh babi dan kaum perempuan memasak ubi.
Satu kampung terdiri dari beberapa
daerah penghunian. Kampung Kurigi misalnya terdiri dari daerah sepenghunian
Nalwangge, Putndum, Dondokloma, Mbrik, Kurigi, Laneyandumu, dan Woktrem. Sistem
kampung ini lebih banyak bertalian dengan ikatan teritorial dari pada ikatan
darah. Kekerabatan adalah kelompok orang yang mempunyai pertalian darah. Di
daerah Kurigi, nyatalah bahwa Gwijangge mempunyai kekerabatan yang tersebar di
daerah itu. Adapula Gwijangge yang ada di tempat-tempat lain, dan biasanya
ketika bertemu, mereka bisa mendiskusikan hubungan persaudaraan, sehingga
mereka tahu bagaimana harus saling menyapa. Aliansi adalah suatu kelompok bekerjasama
dalam perang. Suatu aliansi terdiri dari beberapa kampung dari berbagai daerah.
2.7.
Sistem
Pengetahuan
Pengetahuan yang didapati oleh
masyarakat Nduga pada umumnya adalah pendidikan non-formal (pendidikan luar sekolah).
Hal ini terjadi karena masih banyak kekurangan tenaga pengajar/guru di sekolah.
Selain itu, jarak yang cukup jauh antara sekolah dan kampung menjadi salah satu
kendala, Misalnya, sulit bagi masyarakat Nduga yang bermukim di Kora, Wusak dan
Iniye untuk bersekolah ke Mapnduma. Sulit bagi mereka untuk bermukim di daerah
milik orang lain. Lagi pula anak-nak meraka lebih menyukai bekerja di kebun
membantu orang tua mereka. Walaupun ada beberapa anak yang berhasil pergi ke
tempat lain untuk melanjutkan sekolah, namun pada umumnya mereka lebih memilih
membantu orang tua untuk berkebun, sehingga mereka lebih mendapatkan
pengetahuan non-formal ketimbang formal.
Anak-anak Nduga belajar
dari orang tua mereka melalui apa yang dibuat sehari-hari. Anak-anak perempuan
pergi bersama ibu
mereka menanam ubi sedangkan anak laki-laki pergi berburu dan memasang jerat
bersama ayah mereka. Anak-nak itu mempunyai hak atas apa yang mereka tanam
(misalnya seorang anak perempuan menjual sayur-mayur yang ditanamnya dan
menyimpan sendiri uang yang diperolehnya). Anak-anak perempuan Nduga belajar
dari ibu mereka tentang cara membuat baju dari bahan rumput, menangkap katak,
mengayam noken, memasak, dan memelihara babi. Anak-anak pria belajar membuat
busur dan anak panah serta melatih mengunakan alat-alat tersebut.
Mereka belajar cara membuat kalung dari hasil-hasil tumbuhan, membangun rumah,
pagar, dan jembatan. Dalam rumah laki-laki, mereka belajar mengenai norma-norma
dan nilai-nilai masyarakat Nduga, dan di sana pula dikisahkan tentang
peperangan melawan musuh-mush mereka. Ketika berusia antara 10-12 tahun,
anak-anak Nduga sudah mengenal bagaimana hidup di dalam lingkungannya.
2.8.
Kesenian
Budaya masyarakat Nduga memiliki
kesenian yang digunakan untuk memeriahkan sesuatu pesta atau mau menandakan
suatu peristiwa, misalnya perang suku, dll. Korang
adalah sebuah lagu kemenagan bagi masyarakat Nduga. Lagu ini akan dinyanyikan
pada saat meraka menang dalam perang antar suku, kampung atau antarmarga. Korang bisa dinyanyikan dua atau
beberapa kali tergantung jumlah korban dari pihak sebelah (yang kalah) yang
berahasil dibunuh.
Selain korang,
masyarakat Nduga juga memiliki kesenian lain berupa Engen Wanogolat. Jenis kesenian ini akan dinyanyikan pada saat mereka
berkumpul dalam sebuah honai (rumah adat). Lagu dinyanyikan dengan tujuan
meminta bantuan kepada keluarga yang memiliki kelebihan, misalnya manik-manik,
kapak, gelang, dan anak perempuan untuk dijadikan istri bagi yang belum
memiliki istri. Bagi mereka yang mendapatkan istri tetap membayar belis, tetapi
ada keringanan. Engen Wanogolat juga
merupakan sarana untuk mempertemukan kaum muda dan mudi. Dimana pada saat itu mereka
akan saling menukar kado berupa gelang, noken dan lain-lain. Tujuan utama dari acara
ini adalah untuk mempertemukan kaum muda dan mudi, karena pada saat itu mereka
akan menemukan jodoh mereka masing-masing.
Masyarakat Nduga juga memiliki kesenian lain berupa lagu Lakuje. Lakuje digunakan untuk menghibur
anak yang sedang menangis dan juga mengingat kembali akan masa lalu dari
seorang ibu kepada suaminya yang sudah meninggal dunia. Lagu ini akan
dinyanyikan pada sore hari oleh seorang ibu ketika anaknya sedang menangis, dan
juga dinyanyikan saat ia mengingat kembali masa lalu bersama suaminya yang
telah meninggal. Selain Lakuje, ada
juga alat kesenian yang sering digunakan oleh masyarakat Nduga pada saat mereka
sedang menyiapkan bakar batu. Alat itu disebut Powa (harmonika). Powa akan
dimainkan pada saat mereka lagi memikul kayu, batu, ubi dan lain-lain yang
menyangkut dengan bahan yang digunakan untuk bakar batu.
2.9.
Sistem
Religi
Orang Nduga percaya bahwa ada seseorang
yang mengetahui akan segala hal yang mereka lakukan, serta segala kesalahan
yang dilakukan di masa lalu yang telah mempengaruhi kehidupan mereka. Misalnya
bila babi-babi mereka mati dan sulit untuk dijelaskan alasannya, ataupun anak
anak-anak mereka tidak henti-hentinya sakit, mereka akan meminta bantuan orang
tersebut dan ia sudah mengetahui apa yang mereka harus perbuat. Dalam
kebudayaan mereka, seorang pria takut pada perempuan karena kemampuannya
membunuh pria dengan sihir.
Perempuan semacam itu disebut kweemeo. Orang Nduga berkata bahwa kweemeo dapat membunuh orang pada waktu
malam hari, dan orang itu akan mati mendadak. Aser Kogoya, seorang mantri yang
mengabdi di Mbua dekat Nduga meyakini hal ini, bahwa dimana semua perempuan
mempunyai kemampuan membunuh, sedangkan semua pria tidak.
III.
Kesimpulan
Suku
Nduga adalah sebuah suku yang mendiami daerah pegunungan Tengah Papua. Suku ini
merupakan suku kecil yang berada di bawah suku Dani. Mereka baru dikenal ketika
ada pemekaran kabupaten dan seiring berjalannya OTSUS. Mereka tidak terlalu
dikenal oleh suku bangsa lain selain para suku kerabat dan tetangganya. Suku
Nduga termasuk petani ladang, di mana mereka hidup dari umbi-umbian, keladi,
singkong, tebu (el), buncis, pisang (kwari), ketimun (buki), sayur lilin (wiye)
dll. Selain itu, mereka dikenal sebagai peternak babi. Mereka hidup di sekitar
Mapndum, Tangma, Sinak, Ilaga, Beoga, dan Hitadipa. Melihat letak geografis
yang begitu sulit untuk dijangkau maka masyarakat Nduga sulit untuk mendapatkan
pendidikan yang layak yakni formal. Selain itu, kinerja guru yang kurang
maksimal dan letak sekolah amat jauh dari tempat tinggal maka amat disayangkan
bahwa terpaksa banyak anak suku Nduga harus belajar bersama alam yakni
pendidikan informal. Pelajaran bersama alam ini kurang lebih membawa suatu
nilai tertentu yakni anak-anak suku Nduga tetap setia melestarikan adat
istiadat yang terdapat pada suku mereka.
REFERENSI
Hasil
Penelitian Mahasiswa STFT Tingkat IV Tentang “SUKU BANGSA PAPUA” tahun
2010/2011.
Hasil
Seminar “Papua Sudah” yang diselanggarakan oleh Perhimpunan Pencinta Alam
Geografi JANTERA di gedung PKM UPI tanggal 19 November
2008.
Mandembu, Niesje A,
Suku Sempan, Nakai, Nduga dan Amugme di
Kawasan Lorentz,
Jayapura:
PHPA/WWF Project 4521, 1991.
Paul
Sillitoe, Introduksi ke Antropologi
Melanesia: Budaya dan Tradisi, terj. Isak Resubun.
Jayapura: STFT - Diktat, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar