Selasa, 18 November 2014

PERJALANAN IMAN ABRAHAM dan MAKNA TEOLOGIS BAGI ERA GLOBALISASI



PERJALANAN IMAN ABRAHAM dan MAKNA TEOLOGIS BAGI ERA GLOBALISASI
(Sebuah refleksi)

Abraham merupakan cikal bakal leluhur Israel. Seluruh kisah mengenai perjalanan panggilannya mempunyai motif teologis mengenai janji Allah tentang tanah Kanaan dan iman Abraham dalam menanggapi panggilan Allah. Karena iman maka ia rela meninggalkan Ur-Kasdim (Kej 11:31; 15:7), ia rela dipimpin meninggalkan Haran (Kej 12:1, 4). Oleh karena iman, ia rela menerima kehidupan sebagai pengembara atau 'musafir', kendati negeri Kanaan telah dijanjikan kepadanya (13:15; 15:18). Ia mengalami hanya sebagian dari keseluruhan penggenapan perjanjian itu, yakni menempati sebidang tanah kecil di Makhpela dan memperoleh hak di dekat Bersyeba. Pencobaan paling berat atas imannya, yakni ketika diminta mengorbankan Ishak, putra kandungnya yg secara manusiawi Ishak-lah satu-satunya jalan pemenuhan janji Tuhan. Imannya dialaskan pada kepercayaan akan kekuasaan Tuhan sehingga pada saat-saat terakhir Ishak pun diselamatkan dan seokor domba jantan dijadikan sebagai pengganti korban persembahan kepada Allah.
Iman Abraham kepada Allah direalisasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari, di mana dia menunjukkan kasih sayang yang tulus kepada keluarganya. Ia diakui sebagai orang yg berhasil membina dan menuntun anak-anaknya dan keturunannya, supaya tetap hidup menurut jalan yg ditunjukkan Tuhan, dengan menerapkan 'kebenaran dan keadilan' (Kej 18:19). Sifatnya yang murah hati dan tanpa pamrih (13:9; 14:23) membuat banyak orang memantuhi perintahnya. Ia menunjukan sikap solidaritas dan turut berpartisipasi dalam berperang melawan musuh-musuhnya (14:15).
Perjalanan iman Abraham tidak selalu berjalan mulus. Abraham terkadang tidak mempercayai kekuasaan Allah sebagaimana ditunjukkan dalam peristiwa penipuan terhadap firaun di Mesir dan Abimelekh dari Gerar (Kej 12:11-13; 20:2-11). Kasus ini menunjukkan bahwa pribadi Abraham memiliki kelemahan dan tidak berbeda jauh dengan para penerusnya, sebagaimana yang dikisahkan oleh Alkitab.


MAKNA TEOLOGIS bagi ERA GLOBALISASI
Iman Abraham merupakan suatu landasan bagi iman Kristiani. Abraham percaya secara total kepada Allah dan janji-Nya. Abraham mewujudkan iman itu melalui tingkah lakunya yang murah hati dan tanpa pamrih. Iman kepada Allah membuat dirinya tetap tegar dan setia menatap ke depan penuh harapan. Ia rela memberikan yang terbaik dalam hidupnya kepada Allah yakni ketika ia mau mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran kepada Allah sebagaimana dikehendaki Allah. Abraham merupakan contoh Iman yang hidup dan ada dalam kehidupan Gereja. Tetapi, apakah Gereja (umat Allah) yang hidup di era globalisasi ini mencontohi iman Abraham itu? Apakah iman Abraham tersebut diwujudnyatakan dalam kehidupan kita? Hal inilah yang menjadi tantangan bagi kita di era ini.
Era globalisasi merupakan zona perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi. Hampir seluruh aktivitas kehidupan kita tidak terlepas dari perkembangan tersebut. Perkembangan itu telah merubah kehidupan kita secara dramatis dan menjadikan kita bermental instant. Kita lebih sering mengarahkan hidup pada hal-hal profan yang oleh iman dikatakan sebagai allah-allah lain. Kenikmatan duniawi melalui materi, prestise dll. membuat kita lupa akan orientasi hidup sebagai azas dan dasar yakni memuji dan memuliakan Allah. Iman kepada Allah hanya sebuah barang yang dapat dijual-belikan atau ditukarkan tergantung mood.
Bila dikaji lebih jauh dan mendalam iman sebenarnya suatu anugrah yang diberikan Allah karena kemurahan-Nya kepada manusia yang memampukan kita untuk menyapa dia secara mesrah. Iman membuka pikiran kita untuk menerima wahyu Allah dan berserah kepada Kebenaran, mengenal Kebenaran, menyatakan makna dan nilai. Tanpa iman, makna menghilang, nilai terlepas, dan keberadaan dipenuhi dengan kecemasan dan tekanan. Hal ini menjawab pertanyaan mengapa orang yang tidak beriman selalu hidup dalam kesia-siaan dan berkeluh tanpa harapan.
Kita telah jatuh di dalam perangkap kepercayaan allah-allah lain dan membuat kita tidak percaya terhadap hal-hal yang benar dan dapat dipercaya. Inilah sebabnya sejarahwan dan filosof, Will Durant pernah berkata: "Agama datang dan pergi, namun ketakhayulan berlangsung selamanya." Dalam perjalanan sejarah umat manusia, agama-agama profan tampaknya selalu mendahului agama yang sejati. Oleh sebab itu cara terbaik untuk memperlakukan kepalsuan dan ketakhayulan ini bukanlah dengan kekuasaan, politik, ideologi, teori ataupun uang. Bahkan tidak dengan agama ataupun kepercayaan agama, melainkan melalui iman yang sejati -- yakni iman yang berakar dalam Firman Allah dan pemahaman yang benar mengenai Allah dan wahyu-Nya. Allah pernah berkata pada Yeremia: "Nabi yang beroleh mimpi, biarlah menceritakan mimpinya itu, dan nabi yang beroleh firman-Ku, biarlah menceritakan firman-Ku itu dengan benar! Apakah sangkut-paut jerami dengan gandum? Demikian Firman Tuhan. Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman Tuhan dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yer. 23:28-29).
Firman Tuhan adalah satu-satunya perisai yang paling ampuh untuk berhadapan dengan ketakhayulan dan keyakinan yang palsu. Biarkan kita membangun diri kita dengan iman yang paling suci dan berdoa di dalam Roh Kudus. Senantiasa berada di dalam lingkaran kasih Allah sementara kita menunggu belas kasihan Yesus Kristus yang akan membawa kita kepada hidup yang kekal (Yud. 20). Sebagaimana kita telah mengakhiri pertandingan yang baik, "aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman" (2Tim 4:7-8), oleh sebab itu mari kita senantiasa percaya dan dengan gembira menaati Dia. Menjadi orang yang taat dan menjadi manusia beriman yang kelak mendapat pujian dari Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar