PERJALANAN
IMAN ABRAHAM dan MAKNA TEOLOGIS BAGI
ERA GLOBALISASI
(Sebuah refleksi)
Abraham merupakan cikal bakal
leluhur Israel. Seluruh kisah mengenai perjalanan panggilannya mempunyai motif
teologis mengenai janji Allah tentang tanah Kanaan dan iman Abraham dalam
menanggapi panggilan Allah. Karena iman maka ia rela meninggalkan Ur-Kasdim (Kej 11:31; 15:7), ia rela dipimpin meninggalkan Haran (Kej 12:1, 4). Oleh karena iman, ia rela menerima kehidupan
sebagai pengembara atau 'musafir', kendati negeri Kanaan telah dijanjikan
kepadanya (13:15; 15:18). Ia mengalami hanya sebagian dari keseluruhan
penggenapan perjanjian itu, yakni menempati sebidang tanah kecil di Makhpela
dan memperoleh hak di dekat Bersyeba. Pencobaan paling berat atas imannya,
yakni ketika diminta mengorbankan Ishak, putra kandungnya yg secara manusiawi
Ishak-lah satu-satunya jalan pemenuhan janji Tuhan. Imannya dialaskan pada
kepercayaan akan kekuasaan Tuhan sehingga pada saat-saat terakhir Ishak pun
diselamatkan dan seokor domba jantan dijadikan sebagai pengganti korban
persembahan kepada Allah.
Iman Abraham kepada Allah
direalisasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari, di mana dia menunjukkan
kasih sayang yang tulus kepada keluarganya. Ia diakui sebagai orang yg berhasil
membina dan menuntun anak-anaknya dan keturunannya, supaya tetap hidup menurut
jalan yg ditunjukkan Tuhan, dengan menerapkan 'kebenaran dan keadilan' (Kej 18:19). Sifatnya yang murah hati dan tanpa pamrih (13:9; 14:23) membuat banyak orang memantuhi perintahnya. Ia menunjukan
sikap solidaritas dan turut berpartisipasi dalam berperang melawan
musuh-musuhnya (14:15).
Perjalanan iman Abraham tidak selalu
berjalan mulus. Abraham terkadang tidak mempercayai kekuasaan Allah sebagaimana
ditunjukkan dalam peristiwa penipuan terhadap firaun di Mesir dan Abimelekh
dari Gerar (Kej 12:11-13; 20:2-11). Kasus ini menunjukkan bahwa pribadi Abraham
memiliki kelemahan dan tidak berbeda jauh dengan para penerusnya, sebagaimana
yang dikisahkan oleh Alkitab.
MAKNA TEOLOGIS bagi ERA GLOBALISASI
Iman Abraham merupakan suatu
landasan bagi iman Kristiani. Abraham percaya secara total kepada Allah dan
janji-Nya. Abraham mewujudkan iman itu melalui tingkah lakunya yang murah hati
dan tanpa pamrih. Iman kepada Allah membuat dirinya tetap tegar dan setia
menatap ke depan penuh harapan. Ia rela memberikan yang terbaik dalam hidupnya
kepada Allah yakni ketika ia mau mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran
kepada Allah sebagaimana dikehendaki Allah. Abraham merupakan contoh Iman yang
hidup dan ada dalam kehidupan Gereja. Tetapi, apakah Gereja (umat Allah) yang
hidup di era globalisasi ini mencontohi iman Abraham itu? Apakah iman Abraham
tersebut diwujudnyatakan dalam kehidupan kita? Hal inilah yang menjadi
tantangan bagi kita di era ini.
Era globalisasi merupakan zona
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi. Hampir seluruh
aktivitas kehidupan kita tidak terlepas dari perkembangan tersebut. Perkembangan
itu telah merubah kehidupan kita secara dramatis dan menjadikan kita bermental
instant. Kita lebih sering mengarahkan hidup pada hal-hal profan yang oleh iman
dikatakan sebagai allah-allah lain. Kenikmatan duniawi melalui materi, prestise
dll. membuat kita lupa akan orientasi hidup sebagai azas dan dasar yakni memuji
dan memuliakan Allah. Iman kepada Allah hanya sebuah barang yang dapat
dijual-belikan atau ditukarkan tergantung mood.
Bila dikaji lebih jauh dan mendalam
iman sebenarnya suatu anugrah yang diberikan Allah karena kemurahan-Nya kepada
manusia yang memampukan kita untuk menyapa dia secara mesrah. Iman membuka
pikiran kita untuk menerima wahyu Allah dan berserah kepada Kebenaran, mengenal
Kebenaran, menyatakan makna dan nilai. Tanpa iman, makna menghilang, nilai
terlepas, dan keberadaan dipenuhi dengan kecemasan dan tekanan. Hal ini
menjawab pertanyaan mengapa orang yang tidak beriman selalu hidup dalam
kesia-siaan dan berkeluh tanpa harapan.
Kita telah jatuh di dalam perangkap
kepercayaan allah-allah lain dan membuat kita tidak percaya terhadap hal-hal
yang benar dan dapat dipercaya. Inilah sebabnya sejarahwan dan filosof, Will
Durant pernah berkata: "Agama datang dan pergi, namun ketakhayulan
berlangsung selamanya." Dalam perjalanan sejarah umat manusia, agama-agama
profan tampaknya selalu mendahului agama yang sejati. Oleh sebab itu cara
terbaik untuk memperlakukan kepalsuan dan ketakhayulan ini bukanlah dengan
kekuasaan, politik, ideologi, teori ataupun uang. Bahkan tidak dengan agama
ataupun kepercayaan agama, melainkan melalui iman yang sejati -- yakni iman
yang berakar dalam Firman Allah dan pemahaman yang benar mengenai Allah dan
wahyu-Nya. Allah pernah berkata pada Yeremia: "Nabi yang beroleh mimpi, biarlah
menceritakan mimpinya itu, dan nabi yang beroleh firman-Ku, biarlah
menceritakan firman-Ku itu dengan benar! Apakah sangkut-paut jerami dengan
gandum? Demikian Firman Tuhan. Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah
firman Tuhan dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yer.
23:28-29).
Firman Tuhan adalah satu-satunya
perisai yang paling ampuh untuk berhadapan dengan ketakhayulan dan keyakinan
yang palsu. Biarkan kita membangun diri kita dengan iman yang paling suci dan
berdoa di dalam Roh Kudus. Senantiasa berada di dalam lingkaran kasih Allah
sementara kita menunggu belas kasihan Yesus Kristus yang akan membawa kita
kepada hidup yang kekal (Yud. 20). Sebagaimana kita telah mengakhiri
pertandingan yang baik, "aku telah mencapai garis akhir dan aku telah
memelihara iman" (2Tim 4:7-8), oleh sebab itu mari kita senantiasa percaya
dan dengan gembira menaati Dia. Menjadi orang yang taat dan menjadi manusia
beriman yang kelak mendapat pujian dari Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar