MENGEMBANGKAN HIDUP ROHANI
I.
PENDAHULUAN
Manusia
diciptakan untuk memuji, menghormati dan mengabdi Allah, sehingga jiwanya
diselamatkan. Itulah asas dan dasar! Dalam meditasi Ignasian, asas dan dasar
merupakan latihan untuk memperoleh kesadaran tentang hidup dihadapan dan
bersama Allah. Pengalaman ini, akan membuat kita memahami bahwa “Allah dapat
dialami dalam seluruh ciptaan”[1]
sebagaimana juga dikutip dalam Injil Yohanes yakni Firman itu telah menjadi
manusia dan diam diantara kita (Yoh. 1:14). Dasar tersebut membuat kita sungguh
mengalami tindakan Allah dalam hidup konkret. Tindakan Allah itu bersifat
menciptakan dan mengarahkan manusia. Sebagai arah adalah membangun manusia
dalam kebenaran sehingga menjadi satu di dalam Kristus.
II.
LATIHAN ROHANI
A.
HIDUP ROHANI
1. Suatu
pengalaman untuk hidup rohani
Banyak
orang merasa gelisah dan berasumsi bahwa hidup mereka tidak berarti lagi.
Kegelisahan yang mereka alami, dicari solusinya lewat sarana yang bisa mendatangkan
kesenangan sesaat seperti: menonton sinetron, mendengarkan musik, makan dan
minum sepuas hati, pergi ke tempat-tempat rekreasi dan bar, mencari uang hingga
larut malam, dan sejenisnya. Sarana-sarana tersebut tidaklah buruk karena
seseorang perlu membutuhkan hiburan dalam hidupnya. Namun hiburan tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai pemuas yang digunakan untuk mengimbangi
kegelisahan hidup yang semakin parah dengan kondisi yang kering-kerontang.
Karena hiburan itu hanya bersifat sementara dan tidak dapat digunakan sebagai
sumber penghiburan. Dalam rangka mencari dan menemukan Tuhan guna mengimbangi
kegelisahan hidup maka kita perlu melatih kehidupan rohani yang sudah mandeg
dan terabaikan dengan latihan lohani.
Proses
latihan rohani bertujuan mempersiapkan dan mengajak kita untuk mencari dan
menemukan kehendak Tuhan dalam
pengalaman hidup kita, dengan kata lain menolong kita untuk mengikuti Kristus
lebih dekat. Dengan mengikuti Kristus lebih dekat dan menjadikan Dia sebagai
sahabat maka perjalanan kehidupan kita yang sebelumnya kering-kerontah akan
berubah laksana mentari yang terbenam dibalik cakrawala penuh keanggunan.
Itulah kehidupan sejati yang ditemukan dalam Kristus.
2. Sebagai
pedagogi hidup rohani
Ignasius
dalam catatan pendahuluan pertama menggambarkan bahwa latihan rohani seperti
olahraga karena dikatakan sebagai
berikut: “sebagaimana gerak jalan, jarak dekat atau jarak jauh dan lari-lari
disebut latihan jasmani, begitu pula dinamakan latihan rohani setiap cara
mempersiapkan jiwa dan menyediakan hati untuk melepaskan diri dari segala rasa
lekat tak teratur dan selapasnya dari itu, lalu mencari dan menemukan kehendak
Allah dalam hidup nyata guna keselamatan jiwa kita”.[2] Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa latihan rohani merupakan sebuah pedagogi hidup
rohani yang perlu dibangun dan dibentuk melalui proses kehidupan sehingga dapat
terlepas dari kelekatan tak teratur.
B.
STRUKTUR DINAMIS LATIHAN ROHANI
Latihan
rohani merupakan sesuatu yang dinamis sehingga dalam latihan perlu ada
pengawasan dari pembimbing yang berpengalaman. Latihan rohani dibagi menjadi
empat bagian, yang disebut empat minggu. Pembagian tersebut hanyalah untuk
menunjukan bahwa “latihan rohani terdiri dari empat langkah besar yang sesuai
dengan dinamika sejarah keselamatan.”[3]
1.
Minggu I: dosa dan kerahiman Allah
Renungan atas dosa tidak terlepas dari
belas kasih dan kerahiman Allah kepada umat manusia. Renungan ini tidak hanya
mengajak dan membawa manusia ke dalam kesadarannya akan keberdosaan, melainkan
juga ke dalam kesadaran yang semakin mendalam atas cinta kasih Allah. Kesadaran
ini merupakan daya kekuatan dan landasan untuk hidup lebih baik serta maju
dalam menjawab panggilan Allah di dalam Kristus.
Latihan rohani yang dijalankan ialah
meditasi dengan daya jiwa. Agar latihan ini membawa hasil yang maksimal maka
diberikan berbagai bantuan petunjuk tambahan yang tujuannya menciptakan suasana
damai dalam batin. Bila latihan rohani dijalankan dengan baik dan semestinya
maka akan terjadi gerakan-gerakan batin. Dinamika perjalanan tahap ini ditandai
dengan permohonan rahmat rasa malu dan aib atas diri sendiri agar semakin
merasakan betapa dalam dan besar cinta kasih Allah.
2.
Minggu II: mengikut Yesus
Renungan ini mengajak kita agar lebih
dalam mengenal pribadi Yesus Kristus serta memperjuangkan Kerajaan Allah
sebagai pilihan utama dalam hidup. Jalan yang perlu ditempuh demi
memperjuangkan Kerajaan Allah ialah jalan kemiskinan, ketaatan, dan kemurniaan.
Agar pilihan tersebut sungguh dekat dengan pilihan Yesus, maka kita diajak
untuk mengadakan latihan tiga macam kerendahan hati yang merupakan pengolahan
hati dan afeksi seseorang untuk mencintai apa yang dicintai oleh Tuhan. Selama
latihan rohani semua ini akan dialami dalam proses gerak-gerak batin dan
rohani. Dinamika internal perjalanan doa selama minggu ini ialah permohonan
rahmat agar semakin mengenal dan terbuka kepada Yesus sehingga semkin mencintai
dan mengikuti-Nya.
3.
Minggu III: kesengsaraan Yesus
Dalam renungan
ini, kita dibawa masuk ke misteri terdalam pergulatan Allah dalam kemanusian
untuk menegakkan hidup berdasarkan nilai-nilai Kerjaan Allah sebagai
konsekuensi atas pilihan yang dibuat. Dengan merenungkan misteri salib dalam
perspektif pedagogi iman maka kita diharapkan untuk semakin menyerahkan diri
dan masuk ke dalam jalan pilihan Tuhan sebagai tindak lanjut dari keputusan
yang sudah diambil dalam latihan-latihan yang lalu. Oleh karena itu, dinamika
perjalanan selama sepekan ini ialah ditandai dengan permohonan rahmat kesusahan
dan kesengsaraan bersama Yesus.
III.
PERGI MENYERTAI DIA
A.
DOSA
1.
Dosa asal
Gereja
mengajarkan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan dosa dan terpisah dari
Allah. Keadaan ini disebut dosa asal yang berarti tidak berdasarkan kesalahan
sendiri, melainkan karena lahir dalam keadaan konkret umat manusia yang berupa
keadaan dosa. “Yesus Kristus wafat di kayu salib merupakan salah satu bentuk
solidaritas-Nya dengan umat manusia yang harus mati karena dosa.”[4]
Situasi keberdosaan ini sering disebut sebagai dosa asal. Teologi modern
menerangkan kesatuan dalam dosa tersebut bukan saja secara biologis, psikologis
atau pun sosiologis melainkan secara teologis yakni berdasarkan kesatuan semua
orang dalam rencana keselamatan. Menurut rencana Allah bahwa semua orang dari
semula bersatu dalam tujuan hidup kearah kesamaan dengan Kristus (lih. Rm 8:29).
2.
Manusia jatuh ke dalam dosa
“Allah
memberikan kebebasan kepada manusia untuk memuji dan memuliakan Dia. Namun kebebasan
itu disalahgunakan oleh manusia dengan memilih melawan Allah.”[5]
Perlawanan manusia inilah yang disebut sebagai dosa. Perbuatan ini dikisahkan
secara nyata dalam Kej. 3:1-24. Dosa berakar di hati manusia dan membuat
dirinya berdaulat dalam kebebasan. Kebebasan ini disalahgunakan sehingga “dari
hati datanglah pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, pemerkosaan,
pencurian...” (Mat. 15:19). Manusia perlahan memisahkan diri dari Allah melalui
dosa. Dosa merupakan isolasi radikal yang membuat manusia jauh dari sumber
kehidupan dan membuat dirinya sebagai tujuan serta pusat hidup dari segala
tindakan.
Dosa tidak hanya
berdampak pada hubungan pribadi, tetapi mengejawantah dalam masyarakat luas
seperti kebencian, kedengkian, kemalasan, percabulan, permusuhan, perang,
bahkan pembunuhan, sebagaimana dalam Kitab Kejadian dosa di taman Firdaus yang
diikuti oleh pembunuhan Habel (Kej. 4).
Dosa merupakan simbol keruntuhan dunia.[6] Sehingga
St. Ignatius menghendaki dalam buku latihan rohani agar kita bermeditasi tentang
dosa. Sebab di sinilah letak titik tolak latihan rohani yang sebenarnya yakni
kita perlu “menyadari diri sebagai mahkluk yang memiliki asas dan dasar”[7]
namun dihancurkan oleh dosa. Permenungan ini mengajak kita untuk mengalami
Allah secara personal dan melihat betapa besar kerahimanNya kepada kita yang
mau kembali menjadi anak-anak Allah.
B.
PERGI KE PADANG GURUN
1.
Pengalaman di padang gurun
“Sekitar awal abad ke-4, orang-orang kristen mengikuti
jejak Kristus dengan menjalani hidup tapa di padang gurun. Di sana mereka
menghadapi godaan-godaan iman yang hebat.”[8] Dengan cara yang sama, kita
ditantang untuk memeriksa
dan melihat ke dalam kegersangan padang gurun hati kita
sendiri. Ketika pertama kali kita memasuki padang gurun, tampak sepi dan kosong; hanya sedikit yang dapat dilihat dan didengar.
Saat berada dan tersesat di padang gurun, kita dihampiri
penderitaan dan godaan
yang terus meresap ke dalam hati serta menciptakan ruang kosong yang perlu diisi dengan
alkohol, narkoba, obat penenang dan hubungan sex yang serempangan. Kita mengalami
kegersangan Rohani, merasa bahwa Tuhan tidak bersama dengan kita atau
kehilangan Tuhan, bahkan kepekaan terhadap diri sendiri pun bisa turut hilang.
Dalam krisis yang demikian, kita menginginkan agar segala sesuatu cepat berlalu
tetapi betapa ini sebuah
keinginan yang tak mungkin bisa terjadi, karena tersesat di padang gurun
berarti berhadapan langsung dengan krisis tersebut.
Ketika terpuruk
dan tak berdaya, kita mulai bertanya dalam diri “apakah ada garis akhir dari
semuanya ini? Dalam arti tertentu ada. Di saat kita sungguh percaya bahwa
padang gurun ini merupakan tempat pemurnian dan peralihan menuju kebahagian
maka perlahan-lahan kita keluar
dari tanah kosong yang gersang dan memasuki tanah lapang yang subur dan ramah.
Hati kita disembuhkan dan menemukan tujuan yang baru serta belajar mencintai lagi. Tetapi, dalam artian yang lain
kita sebenarnya tidak pernah meninggalkan padang gurun, melainkan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
2.
Bersama Yesus di padang gurun
Kitab Suci
menceritakan bahwa Yesus dalam pengalaman hidup-Nya pun turut merasakan padang
gurun sebagaimana dirasakan manusia. Sebelum awal karya keselamatan umat
manusia, Yesus pergi ke sungai Yordan dan dibabtis oleh Yohanes kemudian Roh Kudus
menuntun-Nya ke padang gurun untuk dicobai. Yesus ditantang dan dicobai selama
empat puluh hari untuk mampu mengalahkan keinginan daging-Nya. Yesus pun
berhasil mengalahkan godaan tersebut. Dengan pengalaman yang sama, kita
ditantang pula agar bisa melawan keinginan daging dan hawa-nafsu tak teratur
yang melekat dalam diri kita.[9] Sebab
barangsiapa yang mau mengikuti Yesus, pertama-tama harus menyangkal dirinya dan
memikul salib kemudian baru mengikuti-Nya. Pengalaman padang gurun mengajak
kita untuk selalu bersama Yesus baik dalam suka maupun duka sebagaimana Dia
sendiri berkata “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku tinggal di dalam dia,
ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh
15:5).
3.
BERTEMU DENGAN YESUS
1. Sebagai
awam
Kehidupan
dan keberadaan Yesus selama di dunia adalah sebagai seorang awam. Dia tidak
tergolong dalam kelas atas maupun kelas imam. Kehidupan Yesus sebagai seorang
awam terus memotivasi diri-Nya untuk berkeliling mewartakan Kerajaan Allah
tanpa sanksi atau pun dukungan instansi mana pun. Satu-satunya dukungan adalah
Bapa-Nya di Surga. Sebagai orang awam, Yesus merasa akrab dengan rakyat kecil.
Dia sering mengikuti pesta rakyak (bdk. Yoh 2:1-12) dan amat dekat dengan kaum
miskin. Walaupun demikian, Yesus tidak menutup diri untuk bergaul dengan
masyarakat kalangan atas (bdk. Luk 14:4-14).
Dalam Gereja
Katolik, “orang awam kerap kali diperikan dari sudut negatif sebagai orang
Kristiani yang bukan imam dan biarawan-biarawati”[10]
sehingga tidak memiliki kedudukan dalam hierarki Gereja. Selama berabad-abad
Gereja terlalu banyak diperintah oleh sistem hierarki sehingga sikap kaum awam
sering menjadi pasif bahkan tidak diperhitungkan. Hal inilah yang mau
ditekankan dari kehidupan Yesus bersama orang awam bahwa mereka bukanlah orang
terpinggir yang hanya dipandang sebelah mata. Melainkan mereka adalah satu dan
sama dengan kita, sehingga sikap saling menerima dan cinta kasih harus
ditumbuhkan dalam kebersamaan. Keprihatinan yang dialami Yesus bersama orang
miskin baru diperbaharui dalam Konsili Vatikan II yang melihat dirinya yakni
Gereja sebagai “sakramen penyelamatan” bagi dunia. Dengan demikian, Gereja
membuka diri untuk “merasul bersama kaum awam dalam memberitakan Kerjaan Allah.”[11]
2. Sebagai
Imam
Imam
adalah anggota masyarakat beriman yang mengambil bagian dalam panggilan serta
misi bersama para pengikut Kristus: “Bersama semua yang lahir kembali dalam
jambangan baptis, imam adalah saudara di tengah saudara-saudara dan anggota
tubuh Kristus yang semuanya diperintahkan untuk membangun” (Presbyterorum Ordinaris n. 9). Oleh
karena itu, kaum awam jangan memandang imam sebagai orang yang memiliki
kedudukan istimewa melainkan sebagai saudara yang mengemban tugas pelayanan
suci. Sebagaimana yang dikutip dari kata St. Augustinus yakni “Aku
sungguh-sungguh gentar oleh apa artiku bagi kalian, tetapi aku terhibur oleh
apa artiku jika aku bersama kalian. Bagimu aku adalah uskup, bersama kalian aku
adalah seorang Kristiani. Yang pertama adalah tugas, yang kedua adalah rahmat.
Yang pertama adalah resiko, yang kedua adalah keselamatan” (Lumen Gentium n. 32).
“Dalam
hubungan persaudaraan, imam dan kaum beriman tidak boleh mengaburkan tugas
khusus imam sebagai pelayan Gereja.”[12]
Sebab sejak awal para rasul telah dipilih untuk membimbing jemaat dalam Roh
Yesus yang kemudian diemban oleh Trimatra.[13] Tugas
dan tanggungjawab ini dilaksanakan dalam berbagai bentuk. Dalam memenuhi tugas
dan tanggungjawab serta misinya, Gereja membutuhkan pribadi-pribadi yang di
depan umum senantiasa bertanggungjawab untuk menunjukan ketergantungan
hakikinya pada Yesus Kristus dan dengan demikian memberikan fokus kesatuannya
dalam keanekaragaman anugrah. Pelayanan orang-orang seperti ini sejak awal mula
telah ditahbiskan sebagai unsur pokok untuk kehidupan dan kesaksian Gereja.
IV.
PENUTUP
Kerinduan besar untuk mengenal
Allah, bukan lagi lewat buku-buku atau konsep-konsep tetapi dalam diri sebagai
permulaan hidup rohani. Manusia sesungguhnya terbakar oleh kerinduan untuk
mencapai lansung, melihat, menyentuh dan merasakan Dia yang datang diantara
kita. Dengan demikian, Allah sesungguhnya berada di depan mata kita sebagai
yang hidup, menyapa dan bertindak sehingga keberadaan-Nya tidak perlu
membutuhkan pembuktian atau pun pemberitahuan. Kita mengalami Allah dalam
perjumpaan personal yang cukup pada dirinya dan Allah rela dikenal dan
dimengerti serta tidak memerlukan jaminan dari luar perjumpaan tersebut.
REFERENSI
Dister,
Nico Syukur. Pengantar Teologi. Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
Dokumen Konsili Vatikan II, Dekrit “Apostolicum Actuositatem” Tentang
Kerasulan Awam, terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Obor, 2004.
Hamma,
Robert M. Seni Berproses Dalam Krisis.
Jakarta: Obor, 2002.
Kirchberger, Georg. Allah: Pengalaman Dan Refleksi Dalam Tradisi Kristen. Maumere: Arnoldus, 2000.
Konferensi
Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta:
Kanisius, 2007.
Loyola,
Ignasius. Latihan Rohani, terj. J.
Darminta. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Marsunu,
Seto. Dari Penciptaan Sampai Babel. Yogyakarta:
Kanisius, 2008.
Neuner,
J. Pergi Menyertai Dia. Jakarta:
Obor, 2000.
Sudrijanta,
J. Meditasi Sebagai Pembebasan Diri. Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
[1]Georg Kirchberger, Allah: Pengalaman Dan Refleksi Dalam Tradisi
Kristen (Maumere: Arnoldus, 2000), hal.57
[2] Ignasius Loyola, Latihan Rohani, terj. J. Darminta SJ (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), hal. 9.
[3] Ibid., hal. 17.
[4]Konferensi Wali Gereja Indonesia,
Iman Katolik (Yogyakarta: Kanisius,
2007), hal. 282.
[5] Nico Syukur Dister, Pengantar Teologi (Yogyakarta: Kanisius,
2007), hal. 45.
[6] Bdk. Seto Marsunu, Dari Penciptaan Sampai Babel (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), hal. 127.
[7]Ignasius,
Op. cit., hal. 18.
[8]Robert M. Hamma,
Seni Berproses Dalam Krisis (Jakarta:
Obor, 2002), hal. 4.
[9] Bdk. J. Sudrijanta, Meditasi Sebagai Pembebasan Diri (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hal.
28.
[10] J.
Neuner SJ, Pergi Menyertai Dia (Jakarta:
Obor, 2000), hal. 29.
[11] Dokumen Konsili Vatikan II, Dekrit “Apostolicum Actuositatem” Tentang
Kerasulan Awam, terj. R. Hardawiryana SJ
(Jakarta: Obor, 2004), hal. 349.
[12] Neuner,
Op. cit., hal. 36.
[13] Trimatra adalah struktur
pelayanan dalam Gereja yang disebut sebagai uskup, imam dan diakon. Struktur
pelayanan tersebut baru diterima di mana-mana oleh jemaat sejak abad II dan
III.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar